Jumat, 21 Agustus 2009

Puisi 7

EKSEKUSI..

Mungkin suatu saat,
Ibarat palu sang penentu bertalu-talu menggetarkan hatimu
Kau atau aku tak bisa mengelak

Kaki luput, tangan dan jemari terpulut
Mata tertutup, mulut terkatup
Ketika segala pengaduan dan pembelaan ditutup
Tak ada lagi yang bisa kaueja dalam huruf-huruf
Redup…
Sayup…
Adakah bayangan aroma surga atau neraka terhirup
Pada jeda antara mati dan hidup

Kuceritakan padamu,
Aku sedang terpenjara menunggu eksekusiku
Menyiapkan dada selebar-lebarnya
Menyangga kepala sekuat-kuatnya
Hanya itu,
Wisma Ijo, 21 Agustus 2009

Puisi 6

PELABUHAN TAK BERTEPI
Aku tak yakin ada pelabuhan tak bertepi
Tapi memang laut lepas tak berbatas
Pantai hanyalah sisi tempat penantian gelombang gemuruh berlabuh

Seperti menunggu perahumu kaulayarkan di samudra
Aku memamah pasir-pasir asin sisa jejakmu

Entah, dipelupuk mata ini, mimpi masih terpahat,
Seperti jeda ayunan daun-daun kelapa
Juga jarak riak-riak ombak
dan nelayan yang menjaring harapan di perairan
Semoga, ini pelabuhan tak bertepi

Wisma Ijo, 13 Agustus 2009

Puisi 5

SEBUAH PERJALANAN DI ATAS SAHARA (4)

Bungkamku urai
Cekamku berderai

Pasir pasir masih membentang
Menunggu azan Subuh datang
Perjalanan yang panjang
Sejenak lengang,

Kuangkat kakiku satu-satu
Kutanya pada apa yang sekarang akan dituju

Aku hanya teringat waktu kecil dulu
Aku punya cerita tahajud di pekarangan belakang rumahku
Ditemani bapak ibu

Seperti malam menjelang pagi di sahara ini
Aku menepi…
Tak betah juga aku pada sengatan matari
Bangun, mandi, ganti gaun yang lebih rapi

Tapi tolong, jangan dorong aku lagi ke padang gersang nan kerontang
Karena aku pasti akan memilih terbang, menghilang,…
Enggan …

Wisma Ijo, 9 Agustus 2009

Puisi 4

SEBUAH PERJALANAN DI ATAS SAHARA (3)

Aku benci dengan kata-kata
Isyarat angin berbadai pasir pasir mengaburkan mata
Perjalananku di atas sahara terlalu lama

Gusti…
Di sini matahari tak memberi pertanda
Kiblat yang kautinggali masih sama
Tapi aku terlalu penat mencari baratnya
Pijakan pijakan kaki bergetar getar saking lelahnya

Saban hari aku berdo’a
Aku tiba di perkampungan penuh pesta
Anggur arak dan tawa-tawa lupa
Tapi entah,
Gurun ini tiada tara.

Wisma Ijo, 6 Juli 2009

Puisi 4

SEBUAH PERJALANAN DI ATAS SAHARA (2)
Biar lembar ini lenyap kausambar-sambar
Terduduk kugenggam bayangan berpendar
Tak ada yang lebih bingar hanya sedia kita buka dada lebar-lebar
Aku sedang belajar membuka cadar

Tak sesal aku memaki
Harapku kau mati
Tanpa benci
Tanpa sakit hati

Lagu lagu itu masih biru
Berdendang sendiri di corong telingaku
Ngilu…
Sementara kausedang pasang tulimu
Layak apa sumpah serapahku pada sepenggal kalimatmu
‘lupakan saja semua itu’

Ya…
Di atas sahara ini kugali sumur berkali-kali
‘Kubur hidup-hidup!’ seperti kisah jahiliyah sebelum Nabi
Mimpi buruk itu tak perlu ditafsiri
Sekarang, aku sedang mencoba telanjang kaki
Memijak bumi, memeta hari

Wisma Ijo, 2 Agustus 2009

Puisi 3

SEBUAH PERJALANAN DI ATAS SAHARA (1)

Kenapa mesti dilupa?
Seperti tak disengaja saja
Hanya Kaktus yang sedia tumbuh di sahara

Kenapa mesti masih dipertanya?
Seperti tak tahu jawabnya saja
Hanya pasir yang tak lama basah dihujamnya

Jangan kausangka aku masih berdiri disini sudah tanpa luka
Kujahit kembali peta perjalanan yang tak rupa sketsanya
Tapi jangan kaupaksa aku untuk jadi ‘pelupa’
Jarum-jarum ini sedang kuperpanjang benangnya…

Wisma Ijo, 2 Agustus 2009

Puisi 2

ATAUKAH AKU…
Ataukah aku hanya sekedar laut yang menerjemahkan biru kelabunya langit hingga sedalam dasarnya?...
Ataukah aku hanya sekedar angin yang mengukur bebatuan sebatas luar kasarnya?
Mempuisikan engkau dalam malam
Mempuisikan engkau dalam hitam
Mempuisikan engkau dalam suram

Ataukah aku hanya sekedar iringan gending tanpa langgam?...
Melagukan engkau dalam muram
Melagukan engkau dalam kelam
Melagukan engkau dalam diam

Sepotong pena mulutnya masih menganga untuk melanjutkan bait bait tak bernama

TK NU, 30 Juli 2009

Puisi 1

PARADE
Aku masih berdiri mengiring angin
Suara parau hampir nyata terdengar
Seperti rintihan tetangga idiot menggema tiap malam
Ceritamu tentang aku juga ceritaku tentangmu berparade

Dedalane, guno lawan yekti…
Kudu andhap ashor

Aku masih berdiri menatap awang-awang
Jarak yang tak tentu antara bumi dan rembulan
Masing masing punya poros perjalanan
Entah pada titik mana arah kita bersinggungan

Wani ngalah luhur wekasane

Waktu tak pernah mau mengalah
tapi kita bukan semacam jam yang hanya punya angka dua belas
ada kisah yang harus ditela’ah
singgah baca sejarah mungkin lebih bisa bertutur indah

Tumungkulo yen dipun dukani

Diam bukan emas
karena tak mungkin ada parade bisu
batu jatuh berdebum, bolam lampu memuai panas terbelah belah
Ini bukan salah, tapi alamiah

Bapang den simpangi
Ono catur mundur

Ataukah memang tak perlu ada suara?
Karena telinga di kepala jauh jarak rasa dalam dada
Parade tak perlu ada?
Karena semua asik bercerita suka-suka
(Wisma Ijo, 20 Juli 2009)