EKSEKUSI..
Mungkin suatu saat,
Ibarat palu sang penentu bertalu-talu menggetarkan hatimu
Kau atau aku tak bisa mengelak
Kaki luput, tangan dan jemari terpulut
Mata tertutup, mulut terkatup
Ketika segala pengaduan dan pembelaan ditutup
Tak ada lagi yang bisa kaueja dalam huruf-huruf
Redup…
Sayup…
Adakah bayangan aroma surga atau neraka terhirup
Pada jeda antara mati dan hidup
Kuceritakan padamu,
Aku sedang terpenjara menunggu eksekusiku
Menyiapkan dada selebar-lebarnya
Menyangga kepala sekuat-kuatnya
Hanya itu,
Wisma Ijo, 21 Agustus 2009
Kematian adalah hal yang paling pasti, Kematian adalah hal yang paling ngeri, Kematian itu menakutkan. Tapi, Kematian adalah hal yang menguatkan keinginan untuk hidup berharga dan bermakna
Jumat, 21 Agustus 2009
Puisi 6
PELABUHAN TAK BERTEPI
Aku tak yakin ada pelabuhan tak bertepi
Tapi memang laut lepas tak berbatas
Pantai hanyalah sisi tempat penantian gelombang gemuruh berlabuh
Seperti menunggu perahumu kaulayarkan di samudra
Aku memamah pasir-pasir asin sisa jejakmu
Entah, dipelupuk mata ini, mimpi masih terpahat,
Seperti jeda ayunan daun-daun kelapa
Juga jarak riak-riak ombak
dan nelayan yang menjaring harapan di perairan
Semoga, ini pelabuhan tak bertepi
Wisma Ijo, 13 Agustus 2009
Aku tak yakin ada pelabuhan tak bertepi
Tapi memang laut lepas tak berbatas
Pantai hanyalah sisi tempat penantian gelombang gemuruh berlabuh
Seperti menunggu perahumu kaulayarkan di samudra
Aku memamah pasir-pasir asin sisa jejakmu
Entah, dipelupuk mata ini, mimpi masih terpahat,
Seperti jeda ayunan daun-daun kelapa
Juga jarak riak-riak ombak
dan nelayan yang menjaring harapan di perairan
Semoga, ini pelabuhan tak bertepi
Wisma Ijo, 13 Agustus 2009
Puisi 5
SEBUAH PERJALANAN DI ATAS SAHARA (4)
Bungkamku urai
Cekamku berderai
Pasir pasir masih membentang
Menunggu azan Subuh datang
Perjalanan yang panjang
Sejenak lengang,
Kuangkat kakiku satu-satu
Kutanya pada apa yang sekarang akan dituju
Aku hanya teringat waktu kecil dulu
Aku punya cerita tahajud di pekarangan belakang rumahku
Ditemani bapak ibu
Seperti malam menjelang pagi di sahara ini
Aku menepi…
Tak betah juga aku pada sengatan matari
Bangun, mandi, ganti gaun yang lebih rapi
Tapi tolong, jangan dorong aku lagi ke padang gersang nan kerontang
Karena aku pasti akan memilih terbang, menghilang,…
Enggan …
Wisma Ijo, 9 Agustus 2009
Bungkamku urai
Cekamku berderai
Pasir pasir masih membentang
Menunggu azan Subuh datang
Perjalanan yang panjang
Sejenak lengang,
Kuangkat kakiku satu-satu
Kutanya pada apa yang sekarang akan dituju
Aku hanya teringat waktu kecil dulu
Aku punya cerita tahajud di pekarangan belakang rumahku
Ditemani bapak ibu
Seperti malam menjelang pagi di sahara ini
Aku menepi…
Tak betah juga aku pada sengatan matari
Bangun, mandi, ganti gaun yang lebih rapi
Tapi tolong, jangan dorong aku lagi ke padang gersang nan kerontang
Karena aku pasti akan memilih terbang, menghilang,…
Enggan …
Wisma Ijo, 9 Agustus 2009
Puisi 4
SEBUAH PERJALANAN DI ATAS SAHARA (3)
Aku benci dengan kata-kata
Isyarat angin berbadai pasir pasir mengaburkan mata
Perjalananku di atas sahara terlalu lama
Gusti…
Di sini matahari tak memberi pertanda
Kiblat yang kautinggali masih sama
Tapi aku terlalu penat mencari baratnya
Pijakan pijakan kaki bergetar getar saking lelahnya
Saban hari aku berdo’a
Aku tiba di perkampungan penuh pesta
Anggur arak dan tawa-tawa lupa
Tapi entah,
Gurun ini tiada tara.
Wisma Ijo, 6 Juli 2009
Aku benci dengan kata-kata
Isyarat angin berbadai pasir pasir mengaburkan mata
Perjalananku di atas sahara terlalu lama
Gusti…
Di sini matahari tak memberi pertanda
Kiblat yang kautinggali masih sama
Tapi aku terlalu penat mencari baratnya
Pijakan pijakan kaki bergetar getar saking lelahnya
Saban hari aku berdo’a
Aku tiba di perkampungan penuh pesta
Anggur arak dan tawa-tawa lupa
Tapi entah,
Gurun ini tiada tara.
Wisma Ijo, 6 Juli 2009
Puisi 4
SEBUAH PERJALANAN DI ATAS SAHARA (2)
Biar lembar ini lenyap kausambar-sambar
Terduduk kugenggam bayangan berpendar
Tak ada yang lebih bingar hanya sedia kita buka dada lebar-lebar
Aku sedang belajar membuka cadar
Tak sesal aku memaki
Harapku kau mati
Tanpa benci
Tanpa sakit hati
Lagu lagu itu masih biru
Berdendang sendiri di corong telingaku
Ngilu…
Sementara kausedang pasang tulimu
Layak apa sumpah serapahku pada sepenggal kalimatmu
‘lupakan saja semua itu’
Ya…
Di atas sahara ini kugali sumur berkali-kali
‘Kubur hidup-hidup!’ seperti kisah jahiliyah sebelum Nabi
Mimpi buruk itu tak perlu ditafsiri
Sekarang, aku sedang mencoba telanjang kaki
Memijak bumi, memeta hari
Wisma Ijo, 2 Agustus 2009
Biar lembar ini lenyap kausambar-sambar
Terduduk kugenggam bayangan berpendar
Tak ada yang lebih bingar hanya sedia kita buka dada lebar-lebar
Aku sedang belajar membuka cadar
Tak sesal aku memaki
Harapku kau mati
Tanpa benci
Tanpa sakit hati
Lagu lagu itu masih biru
Berdendang sendiri di corong telingaku
Ngilu…
Sementara kausedang pasang tulimu
Layak apa sumpah serapahku pada sepenggal kalimatmu
‘lupakan saja semua itu’
Ya…
Di atas sahara ini kugali sumur berkali-kali
‘Kubur hidup-hidup!’ seperti kisah jahiliyah sebelum Nabi
Mimpi buruk itu tak perlu ditafsiri
Sekarang, aku sedang mencoba telanjang kaki
Memijak bumi, memeta hari
Wisma Ijo, 2 Agustus 2009
Puisi 3
SEBUAH PERJALANAN DI ATAS SAHARA (1)
Kenapa mesti dilupa?
Seperti tak disengaja saja
Hanya Kaktus yang sedia tumbuh di sahara
Kenapa mesti masih dipertanya?
Seperti tak tahu jawabnya saja
Hanya pasir yang tak lama basah dihujamnya
Jangan kausangka aku masih berdiri disini sudah tanpa luka
Kujahit kembali peta perjalanan yang tak rupa sketsanya
Tapi jangan kaupaksa aku untuk jadi ‘pelupa’
Jarum-jarum ini sedang kuperpanjang benangnya…
Wisma Ijo, 2 Agustus 2009
Kenapa mesti dilupa?
Seperti tak disengaja saja
Hanya Kaktus yang sedia tumbuh di sahara
Kenapa mesti masih dipertanya?
Seperti tak tahu jawabnya saja
Hanya pasir yang tak lama basah dihujamnya
Jangan kausangka aku masih berdiri disini sudah tanpa luka
Kujahit kembali peta perjalanan yang tak rupa sketsanya
Tapi jangan kaupaksa aku untuk jadi ‘pelupa’
Jarum-jarum ini sedang kuperpanjang benangnya…
Wisma Ijo, 2 Agustus 2009
Puisi 2
ATAUKAH AKU…
Ataukah aku hanya sekedar laut yang menerjemahkan biru kelabunya langit hingga sedalam dasarnya?...
Ataukah aku hanya sekedar angin yang mengukur bebatuan sebatas luar kasarnya?
Mempuisikan engkau dalam malam
Mempuisikan engkau dalam hitam
Mempuisikan engkau dalam suram
Ataukah aku hanya sekedar iringan gending tanpa langgam?...
Melagukan engkau dalam muram
Melagukan engkau dalam kelam
Melagukan engkau dalam diam
Sepotong pena mulutnya masih menganga untuk melanjutkan bait bait tak bernama
TK NU, 30 Juli 2009
Ataukah aku hanya sekedar laut yang menerjemahkan biru kelabunya langit hingga sedalam dasarnya?...
Ataukah aku hanya sekedar angin yang mengukur bebatuan sebatas luar kasarnya?
Mempuisikan engkau dalam malam
Mempuisikan engkau dalam hitam
Mempuisikan engkau dalam suram
Ataukah aku hanya sekedar iringan gending tanpa langgam?...
Melagukan engkau dalam muram
Melagukan engkau dalam kelam
Melagukan engkau dalam diam
Sepotong pena mulutnya masih menganga untuk melanjutkan bait bait tak bernama
TK NU, 30 Juli 2009
Puisi 1
PARADE
Aku masih berdiri mengiring angin
Suara parau hampir nyata terdengar
Seperti rintihan tetangga idiot menggema tiap malam
Ceritamu tentang aku juga ceritaku tentangmu berparade
Dedalane, guno lawan yekti…
Kudu andhap ashor
Aku masih berdiri menatap awang-awang
Jarak yang tak tentu antara bumi dan rembulan
Masing masing punya poros perjalanan
Entah pada titik mana arah kita bersinggungan
Wani ngalah luhur wekasane
Waktu tak pernah mau mengalah
tapi kita bukan semacam jam yang hanya punya angka dua belas
ada kisah yang harus ditela’ah
singgah baca sejarah mungkin lebih bisa bertutur indah
Tumungkulo yen dipun dukani
Diam bukan emas
karena tak mungkin ada parade bisu
batu jatuh berdebum, bolam lampu memuai panas terbelah belah
Ini bukan salah, tapi alamiah
Bapang den simpangi
Ono catur mundur
Ataukah memang tak perlu ada suara?
Karena telinga di kepala jauh jarak rasa dalam dada
Parade tak perlu ada?
Karena semua asik bercerita suka-suka
(Wisma Ijo, 20 Juli 2009)
Aku masih berdiri mengiring angin
Suara parau hampir nyata terdengar
Seperti rintihan tetangga idiot menggema tiap malam
Ceritamu tentang aku juga ceritaku tentangmu berparade
Dedalane, guno lawan yekti…
Kudu andhap ashor
Aku masih berdiri menatap awang-awang
Jarak yang tak tentu antara bumi dan rembulan
Masing masing punya poros perjalanan
Entah pada titik mana arah kita bersinggungan
Wani ngalah luhur wekasane
Waktu tak pernah mau mengalah
tapi kita bukan semacam jam yang hanya punya angka dua belas
ada kisah yang harus ditela’ah
singgah baca sejarah mungkin lebih bisa bertutur indah
Tumungkulo yen dipun dukani
Diam bukan emas
karena tak mungkin ada parade bisu
batu jatuh berdebum, bolam lampu memuai panas terbelah belah
Ini bukan salah, tapi alamiah
Bapang den simpangi
Ono catur mundur
Ataukah memang tak perlu ada suara?
Karena telinga di kepala jauh jarak rasa dalam dada
Parade tak perlu ada?
Karena semua asik bercerita suka-suka
(Wisma Ijo, 20 Juli 2009)
Langganan:
Postingan (Atom)