Sabtu, 04 Juni 2011

YUSUP

Karya: Pijer Sri Laswiji

Lebaran tahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Paling tidak jumlah hari yang kunikmati untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga di kampung lebih banyak dibanding yang lalu-lalu. Sekolah tempat aku mengajar memberikan libur 5 hari lebih panjang dari lebaran-lebaran sebelumnya. Mumpung masih legan alias single, kumanfaatkan kesempatan liburan kantor seperti ini untuk pulang mengurai rindu yang menggunung di tanah perantauan. Siapa pernah menduga hari esok akan menjadi apa dan seperti apa. Meski jauh-jauh menyusun rencana, ketetapan Yang Maha Kuasa lebih menentukan segalanya. Seperti aku yang sekarang, tak pernah menyimpan mimpi hidup jauh dari sanak saudara demi sebuah pekerjaan.

Kampungku masih seperti dulu. Desa yang masih desa dengan segala kearifan lokalnya. Ujung, atau Badan, atau istilah arabnya silaturrahim, saling berkunjung dan meminta maaf ke tetangga-tetangga secara bergantian setelah rampung jama’ah riyaya masih menjadi tradisi yang selalu dikangeni.
Drdrdr. Handphoneku bergetar.

“Cewek... jalan yuk!”
Aku tersenyum. Pesan pendek dari Iqoh, tetangga dan juga teman sekelas waktu MTs yang sekarang menjadi koki sebuah hotel di Surabaya. Ia pasti mencari teman senasib untuk badan ke tetangga-tetangga. Maklum, sesama baru datang dari perantauan dan sesama perawan.

Kupencet keypad handphone dan kukirim pesan balasan, “Oke... 0 0 ya! Kesinilah dulu, ta’kasih jajan-jajan lucu, kalau aku yang ke rumahmu, aku malu sama kakakmu... :) “
Gema takbir riuh ramai menggiring matahari yang kian meninggi. Kupatut-patut diri di depan cermin, merias wajah, mengatur gaya jilbab rapi-rapi. Kudengar suara Ibu dan Hasnah keponakanku asik bercengkrama diiringi denting-denting gelas dan toples yang mereka siapkan untuk menyuguh tamu-tamu.

“Mak De! Mak Deee!”

Canda tawa Ibu dan Hasnah terhenti ketika terdengar suara teriakan. Keduanya keluar. Aku beranjak dari kamar, mengikuti mereka. Penasaran.
Di teras rumah, seorang pemuda ceking. Sarung yang ngelinting dan baju yang usang tak berkancing. Yusup. Ia meraih dan mencium tangan Ibuku.

“Badan, Mak De!” katanya.

“Badan, sama yang tangannya halus. Salaman!” Ia merebut tanganku dan Hasnah bergantian.

Belum sempat kami menanggapi dan menanyainya, ia tertawa-tawa sendiri dan berbicara tak jelas.

“Orang ke pasar kok sekolah! Apa sekolah, guru alah... Sudir... hahahaha...!”
Tawanya begitu lepas. Tak ada lagi kata-kata untuk kami setelah itu. Ia berbalik dan pergi. Hanya nyanyian-nyanyian aneh tak tertata mengikuti langkah kakinya.

“Ole ole ole ole... Ole... Pergi ke jabalkat, menyusul malaikat! Hoe hoe... apa kamu lihat-lihat!”

Ibuku mengusap matanya yang sedikit basah.

“Sejak pikirannya tidak sehat, setiap lebaran ia pasti datang paling awal ke rumah kita,” ucap Ibu lirih dan kembali masuk rumah.

Hasnah diam. Aku juga tak punya kata. Aku duduk menatap punggung Yusup yang semakin menjauh. Ingatanku justru melayang pada peristiwa dua belas tahun yang lalu. Ketika seragam biru putih menjadi baju andalanku.

Aku mengenalnya sejak kelas 4 SD. Tiga kali ia tidak naik sehingga akhirnya menjadi teman sekelasku sampai lulus. Kami melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah yang sama. Satu-satunya sekolah menengah pertama yang ada di desa. Pada pagi yang menggantung mimpi di setiap sudut pelupuk mata, aku berpapasan dengannya ketika ia berlari keluar dari rumah dengan tas terbuka penuh baju-baju tak karuan.

“Minggat sana! Ikut Ibumu yang jadi lonte di luar negeri! “
Sebuah sandal melayang dan hampir mengenai sepedaku. Yusup berlari kencang-kencang. Kulihat Lek Darmi, ibu tiri Yusup masih mengomel berkacak pinggang di serambi rumahnya. Ternyata pagi itu Yusup mencuri di kios kelontong Ibu tirinya sebab tidak dikasih uang saku. Sejak usia 3 tahun, setelah kedua orang tua kandungnya bercerai dan bapaknya menikah lagi, ia tinggal bersama keluarga baru bapaknya. Kedua kakak Yusup ikut neneknya sebab ibunya kembali lagi menjadi TKI di Arab Saudi. Dan sebuah kabar heboh semakin menambah cerita kehidupan Yusup, ketika Suryani, Ibu kandungnya pulang dari negeri saud tersebut dengan membawa bayi.

Semua teman, guru, dan tetangga mengenal Yusup sebagai pembuat masalah, bandel, nakal, badung, dan sebutan-sebutan yang serupa. Nilai di raportnya hampir semua berdarah. Catatan merah di ruang BP juga penuh nama yang sama. Yusup. Tawuran dan gelut hampir setiap hari. Tak jarang juga ia menggoda teman-teman perempuan. Bahkan suatu hari ia berani memegang pantat bu Eni, guru bahasa indonesiaku. Bu Eni marah dan membawanya pada Guru BP. Aku tak tahu hukuman apa yang ia dapat, tiap kali keluar dari ruang BP merah-merah di pipi kanan dan kirinya yang kulihat.

Sebenarnya aku tak punya masalah dengan Yusup sebelumnya. Bukan hanya karena ia memang tak pernah berbuat buruk kepadaku, tapi karena aku yang tak begitu mempedulikannya. Meskipun hampir semua teman sekelas pernah menjadi objek kenakalannya, tapi aku tidak.

Waktu itu bisa dibilang aku adalah sosok murid yang manis. Para guru menyukaiku karena aku selalu unggul di semua bidang pelajaran, patuh, dan multitalenta. Hampir separoh jumlah piala yang bertengger di atas rak kantor kepala sekolah adalah hasil prestasiku. Juara MTQ, Cerdas Cermat, Puisi, Pidato, Kaligrafi, dan Hadrah. Itu lomba-lomba yang sempat menambah koleksi pajangan nilai istimewaku di sekolah. Jadi, tidak heran jika aku seperti menjadi anak emas.

Tapi hari itu benar-benar mengukir cerita antara aku dan Yusup. Hari pertama ia kembali duduk di bangkunya setelah seminggu tidak berangkat karena harus menjalani hukuman skorsing tidak boleh masuk sekolah. Ia dihukum karena sudah mengganggu Juwita. Seekor ulat bulu ia lempar ke waja gadis itu sehingga bentol-bentol mengerikan. Orang tua Juwita tidak terima dan mengadukannya ke sekolah.

Bel listrik berdering 3 kali. Bu Neti mengakhiri penjelasannya tentang rumus phytagoras. Senyum mengembang di bibir kami. Jam istirahat pertama. Satu persatu teman-temanku keluar. Aku bergeming di kursiku, masih ingin melanjutkan mengerjakan soal-soal latihan yang di berikan Bu Neti. Kesempatan untuk lebih bisa konsentrasi ketika kelas kosong. Pikirku. Tapi ternyata tidak. Baru saja aku mulai membuka buku LKA, empat teman laki-lakiku masuk kejar-kejaran. Gaduh. Mereka tidak hanya berlari-lari, tapi mulai mendorong-dorong meja kursi kesana kemari. Kadang aku heran dengan permainan anak laki-laki. Seringkali beradu kekuatan dan berkelahi. Merasa tidak nyaman, segera kututup buku dan kumasukkan ke dalam tas. Lebih baik ke kantin saja dulu. Aku bangkit hendak keluar. Tapi tiba-tiba...

Jreet...

Sebuah meja terdorong ke arahku. Saking paniknya aku bermaksud menahan dengan sebelah tanganku. Tapi naas. Meja kayu menjepit jari tengahku ke tembok. Darah mengucur. Perih. Seketika kegaduhan berhenti. Teman-temanku berdatangan merubung. Bu Alfi datang dan mengajakku ke ruang UKS. Disusul Pak Guru BP dengan sangar menjewer Yusup yang lagi-lagi tertuduh. Kasus baru hari itu.

Di ruang UKS yang juga ruang Guru BP, Bu Alfi mengobati luka jari tengahku. Beberapa meter di sebelahku, Yusup disidang.
Plak!

“Auw!” aku menjerit. Bukan karena perih lukaku yang ditetesi getah daun Yodium oleh Bu Alfi. Tapi karena kaget dan ngeri melihat Yusup diinterogasi.

Entah tamparan yang ke berapa, aku tak sempat menghitungnya.Yusup seperti boneka karet yang sama sekali tak punya ekspresi. Diam. Segala pertanyaan Guru BP tak ada yang ia jawab. Hanya sekali kudengar ia menjerit saat telinganya dijewer dan ditarik ke atas hingga memerah. Aku tak tahu apa lagi yang terjadi setelah itu, sebab Pak Amin segera membawaku ke Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan medis dari dokter.

Hanya saja hari itu adalah cerita terakhir masa kecilku dengan seorang teman bernama Yusup.

Aku tidak tahu kebijaksanaan seperti apa yang diambil oleh sekolah. Sejak hari itu, tidak ada lagi cerita-cerita heboh tentang Yusup. Ia dikeluarkan dari sekolah.
Dua tahun berikutnya, ketika sekolah membuat acara tasyakuran akhirissanah, saat semua senyum dan ucapan selamat menghujaniku karena nilai Ujian Akhir tertinggi se-kabupaten, sebuah surat kaleng terlipat di laci mejaku.

Aku tak akan pernah melupakan kenangan paling buruk dalam hidupku. Semua gara-gara kamu wahai murid kesayangan para Guru. Fuck U.
Aku menghela nafas.

“Kulonuwun. E... ada cewek lagi ngelamun!” suara Iqoh menutup cerita masa laluku tentang Yusup.

Aku tersenyum. Kuajak Iqoh masuk dulu mencicipi makanan-makanan buatan Ibu sebelum kami beroperasi ke rumah-rumah tetangga.

***

Seminggu sudah kunikmati hari kemenangan di kampung halaman. Lebaran ketupat masih menjadi tradisi yang lestari di desa kami. Saat itulah, sehari penuh tidak ada makanan lain yang tersedia di setiap rumah kecuali ketupat dan lepet. Ah, hari yang tidak menyenangkan bagiku, sebab aku harus mengkonsumsi kedua jenis makanan yang tak begitu kusuka. Siang itu, aku bermaksud pergi ke warung pecel Mbak Lis. Tapi kucegah langkah di depan pintu ketika kudengar suara teriakan, nyanyian, bicara ngelantur seseorang di jalan depan rumah. Aku bergeser ke jendela. Yusup. Sekali lagi kuamati tubuh kurus kering itu. Ia cukup tampan jika terawat dan sehat. Aku selalu menerka-nerka sendiri kenapa ia menjadi seperti itu. Banyak hal yang mungkin membuatnya frustasi. Dan apakah aku salah satu dari banyak hal itu? Tiba-tiba aku dirundung bingung? Tapi aku tidak merasa bersalah. Lalu?! Ah, mencari-cari kesalahan. Memang, kesalahan selalu dicari ketika sudah ada korban.

Ia begitu lancar merapal kalimat-kalimat aneh dan tawa-tawa yang kadang terdengar mengerikan. Dadaku sesak dan mataku memanas. Tiba-tiba aku seperti melihat Yusup kecil di antara bayangan-bayangan murid-muridku. Tawa polosnya, kenakalannya, dan canda-candanya yang lucu. Kudekati dan kurangkul, kutanya kabarnya, kuajak berkhayal tentang cita-cita dan kuajari bernyanyi untuk melupakan segala luka di sepanjang hari-harinya. Kubawa ia ke jendela untuk menyaksikan pucuk-pucuk daun yang tiap pagi tumbuh dan menyimak suara angin yang dengan lembut memangkas lembar-lembar keringnya.
Sekali lagi aku menghela nafas. Ah, andai saja. Tapi nyatanya aku hanya seorang Bu Guru Widya yang sekedar bisa berdiri di balik jendela, menatap bayangannya yang lambat laun menghilang di pertigaan.
(K otagede, 15 Mei 2011)

Tidak ada komentar: