Kamis, 11 Oktober 2012

NGABDI NDALEM

“Kadang kita merasa hidup ini tak ada pilihan. Dan kita katakan itu sebagai takdir. Padahal sebenarnya hidup ini penuh pilihan jika kita berani bersikap dan melangkah. Tapi sebagian orang lebih memilih pasrah. Seperti aku…” Pandangan Atin kosong menatap etalase alam kampungnya. Dokar yang ia tumpangi bersama pamannya semakin lama semakin menjauh dari tanah kelahirannya. Hari itu, Kamto, pamannya memutuskan untuk menitipkannya di pondok pesantren Yai Siroj. Atin tahu, ia dibawa ke pesantren bukan untuk nyantri atau sekolah seperti anak-anak tetangga, tetapi untuk jadi rewang di ndalem seorang Kiai. Atin tak punya bayangan apa-apa. Apakah gadis kecil seusia dia bisa benar-benar menjadi rewang? Apalagi di ndalem Kiai. Tapi apa boleh buat. Dia manut saja pada pamannya, satu-satunya orang yang jadi walinya saat ini. Suara kaki kuda mengiringi pelepasan kisah-kisah hidup yang hendak ditinggalkannya. Rumah tua warisan simbah yang hampir tak pernah nyaman karena tiap hari telinga bising mendengar pertengkaran ibu dan bapak tirinya. Andai saja manusia bisa meminta sebelum ia dilahirkan, tentu Atin akan memohon pada Tuhan untuk terlahir di antara keluarga yang bahagia, sejahtera, sentausa, dan punya bapak kandung yang menyertainya hingga dewasa. Tapi, ia hanya bisa melakoni skenario Tuhan yang tak bisa ditawar. Bapaknya meninggal dunia saat ia berusia 6 tahun. Saat ia pertama kali bisa mengeja kalimat ‘ini Budi, dan ini Bapak Budi’. Saat ketika teman-teman kecilnya lagi senang-senangnya berimajinasi pada gambar keluarga dalam buku bacaan paket dari sekolahnya. Ia hanya bertanya pada ibunya “Mak, kenapa bapak cepet mati?” Lalu ibu menjawab “Soalnya bapakmu orang baik, Nduk! Orang baik akan lebih cepat dirindukan Gusti Allah!” Jawaban yang kemudian membuatnya tak lagi bertanya. Hari-hari menginjak remaja terasa semakin getir sejak ibunya memutuskan menikah lagi dengan Hermanto. Duda yang masih menjabat sebagai carik desa itu ternyata bukan figur ayah yang dirindukannya. Laki-laki itu bukan membantu meringankan beban keluarga, tetapi justru menghadirkan berbagai derita. Para penagih hutang bertubi-tubi datang. Ibu tak tahu kemana terbelanjakan uang, tiba-tiba warisan nenek moyang satu persatu melayang. Kabar tentang Hermanto si penjudi itu semakin membuat telinga mbranang. Ah, entah siapa disalah. Perempuan seringkali menjadi pihak yang mengalah. Rumanti janda beranak satu itu menikah pasti berharap punya mimpi lagi. Mencari pengganti suami agar ada yang melindungi dan mengayomi. Tapi apa didapat? Dua orang anak perempuan lagi yang katanya penambah rejeki. Atin pasrah. Sebagaimana pagi itu ia begitu lemah, terpapah di atas dingklik Dokar yang rodanya terus berputar mengejar derap kaki kuda yang terus melangkah. (---TO BE CONTINUED---- insyaallah...)