Kamis, 11 Oktober 2012

NGABDI NDALEM

“Kadang kita merasa hidup ini tak ada pilihan. Dan kita katakan itu sebagai takdir. Padahal sebenarnya hidup ini penuh pilihan jika kita berani bersikap dan melangkah. Tapi sebagian orang lebih memilih pasrah. Seperti aku…” Pandangan Atin kosong menatap etalase alam kampungnya. Dokar yang ia tumpangi bersama pamannya semakin lama semakin menjauh dari tanah kelahirannya. Hari itu, Kamto, pamannya memutuskan untuk menitipkannya di pondok pesantren Yai Siroj. Atin tahu, ia dibawa ke pesantren bukan untuk nyantri atau sekolah seperti anak-anak tetangga, tetapi untuk jadi rewang di ndalem seorang Kiai. Atin tak punya bayangan apa-apa. Apakah gadis kecil seusia dia bisa benar-benar menjadi rewang? Apalagi di ndalem Kiai. Tapi apa boleh buat. Dia manut saja pada pamannya, satu-satunya orang yang jadi walinya saat ini. Suara kaki kuda mengiringi pelepasan kisah-kisah hidup yang hendak ditinggalkannya. Rumah tua warisan simbah yang hampir tak pernah nyaman karena tiap hari telinga bising mendengar pertengkaran ibu dan bapak tirinya. Andai saja manusia bisa meminta sebelum ia dilahirkan, tentu Atin akan memohon pada Tuhan untuk terlahir di antara keluarga yang bahagia, sejahtera, sentausa, dan punya bapak kandung yang menyertainya hingga dewasa. Tapi, ia hanya bisa melakoni skenario Tuhan yang tak bisa ditawar. Bapaknya meninggal dunia saat ia berusia 6 tahun. Saat ia pertama kali bisa mengeja kalimat ‘ini Budi, dan ini Bapak Budi’. Saat ketika teman-teman kecilnya lagi senang-senangnya berimajinasi pada gambar keluarga dalam buku bacaan paket dari sekolahnya. Ia hanya bertanya pada ibunya “Mak, kenapa bapak cepet mati?” Lalu ibu menjawab “Soalnya bapakmu orang baik, Nduk! Orang baik akan lebih cepat dirindukan Gusti Allah!” Jawaban yang kemudian membuatnya tak lagi bertanya. Hari-hari menginjak remaja terasa semakin getir sejak ibunya memutuskan menikah lagi dengan Hermanto. Duda yang masih menjabat sebagai carik desa itu ternyata bukan figur ayah yang dirindukannya. Laki-laki itu bukan membantu meringankan beban keluarga, tetapi justru menghadirkan berbagai derita. Para penagih hutang bertubi-tubi datang. Ibu tak tahu kemana terbelanjakan uang, tiba-tiba warisan nenek moyang satu persatu melayang. Kabar tentang Hermanto si penjudi itu semakin membuat telinga mbranang. Ah, entah siapa disalah. Perempuan seringkali menjadi pihak yang mengalah. Rumanti janda beranak satu itu menikah pasti berharap punya mimpi lagi. Mencari pengganti suami agar ada yang melindungi dan mengayomi. Tapi apa didapat? Dua orang anak perempuan lagi yang katanya penambah rejeki. Atin pasrah. Sebagaimana pagi itu ia begitu lemah, terpapah di atas dingklik Dokar yang rodanya terus berputar mengejar derap kaki kuda yang terus melangkah. (---TO BE CONTINUED---- insyaallah...)

Minggu, 03 Juli 2011

SAJAK JUNI UNTUK RUYATI

Juni kali ini tak lagi turun hujan
Debu-debu menebar aroma duka anak-anakmu
Yang bertahun-tahun rindu pelukmu
Menanti kabar pulang datang terselip pada sekeping uang dari negeri para Tuan

Juni kali ini namamu menjadi kamboja
Menyusul nisan para perempuan yang pahlawan
Mengering di tanah yang tak basah kecuali darah penebus salah
Mengubur luka luka sejarah yang masih membekas di ujung senjata para penguasa
Menjadi budak, demi cinta yang ditinggal di beranda

Juni kali ini kujadikan kau sebuah puisi
Sebab, bagiku, kau benar-benar ibu, perempuan bagi keluargamu
Yang hidup di negeri yang tak lagi bisa menjadi ibu bagimu dan anak cucumu...

(Masjid Mataram Kotagede, 26 Juni 2011)

Sabtu, 04 Juni 2011

YUSUP

Karya: Pijer Sri Laswiji

Lebaran tahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Paling tidak jumlah hari yang kunikmati untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga di kampung lebih banyak dibanding yang lalu-lalu. Sekolah tempat aku mengajar memberikan libur 5 hari lebih panjang dari lebaran-lebaran sebelumnya. Mumpung masih legan alias single, kumanfaatkan kesempatan liburan kantor seperti ini untuk pulang mengurai rindu yang menggunung di tanah perantauan. Siapa pernah menduga hari esok akan menjadi apa dan seperti apa. Meski jauh-jauh menyusun rencana, ketetapan Yang Maha Kuasa lebih menentukan segalanya. Seperti aku yang sekarang, tak pernah menyimpan mimpi hidup jauh dari sanak saudara demi sebuah pekerjaan.

Kampungku masih seperti dulu. Desa yang masih desa dengan segala kearifan lokalnya. Ujung, atau Badan, atau istilah arabnya silaturrahim, saling berkunjung dan meminta maaf ke tetangga-tetangga secara bergantian setelah rampung jama’ah riyaya masih menjadi tradisi yang selalu dikangeni.
Drdrdr. Handphoneku bergetar.

“Cewek... jalan yuk!”
Aku tersenyum. Pesan pendek dari Iqoh, tetangga dan juga teman sekelas waktu MTs yang sekarang menjadi koki sebuah hotel di Surabaya. Ia pasti mencari teman senasib untuk badan ke tetangga-tetangga. Maklum, sesama baru datang dari perantauan dan sesama perawan.

Kupencet keypad handphone dan kukirim pesan balasan, “Oke... 0 0 ya! Kesinilah dulu, ta’kasih jajan-jajan lucu, kalau aku yang ke rumahmu, aku malu sama kakakmu... :) “
Gema takbir riuh ramai menggiring matahari yang kian meninggi. Kupatut-patut diri di depan cermin, merias wajah, mengatur gaya jilbab rapi-rapi. Kudengar suara Ibu dan Hasnah keponakanku asik bercengkrama diiringi denting-denting gelas dan toples yang mereka siapkan untuk menyuguh tamu-tamu.

“Mak De! Mak Deee!”

Canda tawa Ibu dan Hasnah terhenti ketika terdengar suara teriakan. Keduanya keluar. Aku beranjak dari kamar, mengikuti mereka. Penasaran.
Di teras rumah, seorang pemuda ceking. Sarung yang ngelinting dan baju yang usang tak berkancing. Yusup. Ia meraih dan mencium tangan Ibuku.

“Badan, Mak De!” katanya.

“Badan, sama yang tangannya halus. Salaman!” Ia merebut tanganku dan Hasnah bergantian.

Belum sempat kami menanggapi dan menanyainya, ia tertawa-tawa sendiri dan berbicara tak jelas.

“Orang ke pasar kok sekolah! Apa sekolah, guru alah... Sudir... hahahaha...!”
Tawanya begitu lepas. Tak ada lagi kata-kata untuk kami setelah itu. Ia berbalik dan pergi. Hanya nyanyian-nyanyian aneh tak tertata mengikuti langkah kakinya.

“Ole ole ole ole... Ole... Pergi ke jabalkat, menyusul malaikat! Hoe hoe... apa kamu lihat-lihat!”

Ibuku mengusap matanya yang sedikit basah.

“Sejak pikirannya tidak sehat, setiap lebaran ia pasti datang paling awal ke rumah kita,” ucap Ibu lirih dan kembali masuk rumah.

Hasnah diam. Aku juga tak punya kata. Aku duduk menatap punggung Yusup yang semakin menjauh. Ingatanku justru melayang pada peristiwa dua belas tahun yang lalu. Ketika seragam biru putih menjadi baju andalanku.

Aku mengenalnya sejak kelas 4 SD. Tiga kali ia tidak naik sehingga akhirnya menjadi teman sekelasku sampai lulus. Kami melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah yang sama. Satu-satunya sekolah menengah pertama yang ada di desa. Pada pagi yang menggantung mimpi di setiap sudut pelupuk mata, aku berpapasan dengannya ketika ia berlari keluar dari rumah dengan tas terbuka penuh baju-baju tak karuan.

“Minggat sana! Ikut Ibumu yang jadi lonte di luar negeri! “
Sebuah sandal melayang dan hampir mengenai sepedaku. Yusup berlari kencang-kencang. Kulihat Lek Darmi, ibu tiri Yusup masih mengomel berkacak pinggang di serambi rumahnya. Ternyata pagi itu Yusup mencuri di kios kelontong Ibu tirinya sebab tidak dikasih uang saku. Sejak usia 3 tahun, setelah kedua orang tua kandungnya bercerai dan bapaknya menikah lagi, ia tinggal bersama keluarga baru bapaknya. Kedua kakak Yusup ikut neneknya sebab ibunya kembali lagi menjadi TKI di Arab Saudi. Dan sebuah kabar heboh semakin menambah cerita kehidupan Yusup, ketika Suryani, Ibu kandungnya pulang dari negeri saud tersebut dengan membawa bayi.

Semua teman, guru, dan tetangga mengenal Yusup sebagai pembuat masalah, bandel, nakal, badung, dan sebutan-sebutan yang serupa. Nilai di raportnya hampir semua berdarah. Catatan merah di ruang BP juga penuh nama yang sama. Yusup. Tawuran dan gelut hampir setiap hari. Tak jarang juga ia menggoda teman-teman perempuan. Bahkan suatu hari ia berani memegang pantat bu Eni, guru bahasa indonesiaku. Bu Eni marah dan membawanya pada Guru BP. Aku tak tahu hukuman apa yang ia dapat, tiap kali keluar dari ruang BP merah-merah di pipi kanan dan kirinya yang kulihat.

Sebenarnya aku tak punya masalah dengan Yusup sebelumnya. Bukan hanya karena ia memang tak pernah berbuat buruk kepadaku, tapi karena aku yang tak begitu mempedulikannya. Meskipun hampir semua teman sekelas pernah menjadi objek kenakalannya, tapi aku tidak.

Waktu itu bisa dibilang aku adalah sosok murid yang manis. Para guru menyukaiku karena aku selalu unggul di semua bidang pelajaran, patuh, dan multitalenta. Hampir separoh jumlah piala yang bertengger di atas rak kantor kepala sekolah adalah hasil prestasiku. Juara MTQ, Cerdas Cermat, Puisi, Pidato, Kaligrafi, dan Hadrah. Itu lomba-lomba yang sempat menambah koleksi pajangan nilai istimewaku di sekolah. Jadi, tidak heran jika aku seperti menjadi anak emas.

Tapi hari itu benar-benar mengukir cerita antara aku dan Yusup. Hari pertama ia kembali duduk di bangkunya setelah seminggu tidak berangkat karena harus menjalani hukuman skorsing tidak boleh masuk sekolah. Ia dihukum karena sudah mengganggu Juwita. Seekor ulat bulu ia lempar ke waja gadis itu sehingga bentol-bentol mengerikan. Orang tua Juwita tidak terima dan mengadukannya ke sekolah.

Bel listrik berdering 3 kali. Bu Neti mengakhiri penjelasannya tentang rumus phytagoras. Senyum mengembang di bibir kami. Jam istirahat pertama. Satu persatu teman-temanku keluar. Aku bergeming di kursiku, masih ingin melanjutkan mengerjakan soal-soal latihan yang di berikan Bu Neti. Kesempatan untuk lebih bisa konsentrasi ketika kelas kosong. Pikirku. Tapi ternyata tidak. Baru saja aku mulai membuka buku LKA, empat teman laki-lakiku masuk kejar-kejaran. Gaduh. Mereka tidak hanya berlari-lari, tapi mulai mendorong-dorong meja kursi kesana kemari. Kadang aku heran dengan permainan anak laki-laki. Seringkali beradu kekuatan dan berkelahi. Merasa tidak nyaman, segera kututup buku dan kumasukkan ke dalam tas. Lebih baik ke kantin saja dulu. Aku bangkit hendak keluar. Tapi tiba-tiba...

Jreet...

Sebuah meja terdorong ke arahku. Saking paniknya aku bermaksud menahan dengan sebelah tanganku. Tapi naas. Meja kayu menjepit jari tengahku ke tembok. Darah mengucur. Perih. Seketika kegaduhan berhenti. Teman-temanku berdatangan merubung. Bu Alfi datang dan mengajakku ke ruang UKS. Disusul Pak Guru BP dengan sangar menjewer Yusup yang lagi-lagi tertuduh. Kasus baru hari itu.

Di ruang UKS yang juga ruang Guru BP, Bu Alfi mengobati luka jari tengahku. Beberapa meter di sebelahku, Yusup disidang.
Plak!

“Auw!” aku menjerit. Bukan karena perih lukaku yang ditetesi getah daun Yodium oleh Bu Alfi. Tapi karena kaget dan ngeri melihat Yusup diinterogasi.

Entah tamparan yang ke berapa, aku tak sempat menghitungnya.Yusup seperti boneka karet yang sama sekali tak punya ekspresi. Diam. Segala pertanyaan Guru BP tak ada yang ia jawab. Hanya sekali kudengar ia menjerit saat telinganya dijewer dan ditarik ke atas hingga memerah. Aku tak tahu apa lagi yang terjadi setelah itu, sebab Pak Amin segera membawaku ke Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan medis dari dokter.

Hanya saja hari itu adalah cerita terakhir masa kecilku dengan seorang teman bernama Yusup.

Aku tidak tahu kebijaksanaan seperti apa yang diambil oleh sekolah. Sejak hari itu, tidak ada lagi cerita-cerita heboh tentang Yusup. Ia dikeluarkan dari sekolah.
Dua tahun berikutnya, ketika sekolah membuat acara tasyakuran akhirissanah, saat semua senyum dan ucapan selamat menghujaniku karena nilai Ujian Akhir tertinggi se-kabupaten, sebuah surat kaleng terlipat di laci mejaku.

Aku tak akan pernah melupakan kenangan paling buruk dalam hidupku. Semua gara-gara kamu wahai murid kesayangan para Guru. Fuck U.
Aku menghela nafas.

“Kulonuwun. E... ada cewek lagi ngelamun!” suara Iqoh menutup cerita masa laluku tentang Yusup.

Aku tersenyum. Kuajak Iqoh masuk dulu mencicipi makanan-makanan buatan Ibu sebelum kami beroperasi ke rumah-rumah tetangga.

***

Seminggu sudah kunikmati hari kemenangan di kampung halaman. Lebaran ketupat masih menjadi tradisi yang lestari di desa kami. Saat itulah, sehari penuh tidak ada makanan lain yang tersedia di setiap rumah kecuali ketupat dan lepet. Ah, hari yang tidak menyenangkan bagiku, sebab aku harus mengkonsumsi kedua jenis makanan yang tak begitu kusuka. Siang itu, aku bermaksud pergi ke warung pecel Mbak Lis. Tapi kucegah langkah di depan pintu ketika kudengar suara teriakan, nyanyian, bicara ngelantur seseorang di jalan depan rumah. Aku bergeser ke jendela. Yusup. Sekali lagi kuamati tubuh kurus kering itu. Ia cukup tampan jika terawat dan sehat. Aku selalu menerka-nerka sendiri kenapa ia menjadi seperti itu. Banyak hal yang mungkin membuatnya frustasi. Dan apakah aku salah satu dari banyak hal itu? Tiba-tiba aku dirundung bingung? Tapi aku tidak merasa bersalah. Lalu?! Ah, mencari-cari kesalahan. Memang, kesalahan selalu dicari ketika sudah ada korban.

Ia begitu lancar merapal kalimat-kalimat aneh dan tawa-tawa yang kadang terdengar mengerikan. Dadaku sesak dan mataku memanas. Tiba-tiba aku seperti melihat Yusup kecil di antara bayangan-bayangan murid-muridku. Tawa polosnya, kenakalannya, dan canda-candanya yang lucu. Kudekati dan kurangkul, kutanya kabarnya, kuajak berkhayal tentang cita-cita dan kuajari bernyanyi untuk melupakan segala luka di sepanjang hari-harinya. Kubawa ia ke jendela untuk menyaksikan pucuk-pucuk daun yang tiap pagi tumbuh dan menyimak suara angin yang dengan lembut memangkas lembar-lembar keringnya.
Sekali lagi aku menghela nafas. Ah, andai saja. Tapi nyatanya aku hanya seorang Bu Guru Widya yang sekedar bisa berdiri di balik jendela, menatap bayangannya yang lambat laun menghilang di pertigaan.
(K otagede, 15 Mei 2011)

Sabtu, 16 April 2011

esay pas mbulet...

GTT, GURU TETAP TEPAT

Lima tahun yang lalu, saat pertama kali menjadi Guru di Taman Kanak-kanak, penulis merasa profesi ini bukan pilihan, tapi keterpaksaan karena sulitnya mencari peluang pekerjaan. Sarjana pendidikan bahasa asing mengajar Taman Kanak-kanak? Tentu tidak relevan dengan jurusan yang diambil di bangku kuliah. Pemikiran yang sangat pragmatis sekali. Sebab rata-rata orang bersekolah atau mengambil jenjang pendidikan pasti disesuaikan dengan harapan di masa depan. Ijasah tidak sekedar sebagai bukti keberhasilan menyelesaikan sekolah atau bangku kuliah. Tetapi ijasah dicari bahkan seseorang nekad memalsukannya hanya demi sebuah pekerjaan yang memiliki nilai prestise dan materi yang tinggi.

Menjadi guru adalah pilihan, apalagi di lembaga pendidikan swasta yang pengelolaannya seringkali menunggu tali kasih para donatur. Jer basuki mowo beyo, segala kemajuan membutuhkan biaya, sekolah-sekolah negeri dan swasta yang terjamin pendanaannya tentu lebih mampu membeli sarana dan prasarana yang memadai, serta membayar tenaga pengajar yang profesional sesuai bidangnya. Selama ini, penerimaan CPNS selalu disambut antusiasme masyarakat. Sekolah negeri selalu menjadi prioritas dalam segala hal, baik sumber daya manusia maupun sarana dan prasarananya. Beribu-ribu sarjana pendidikan memenuhi antrian panjang pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil. Tentu saja orientasi pekerjaan tetap dan jaminan masa depan yang diharapkan. Sementara itu, sekolah swasta selalu menjadi anak tiri, alternatif terakhir saat seseorang tidak diterima menjadi pegawai negeri dan tidak punya inisiatif untuk berwirausaha. Sehingga pada masa sekarang ini, sangat jarang sekali ditemukan orang-orang yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk pendidikan. Rata-rata orang melamar menjadi Guru di sebuah lembaga pendidikan tertentu untuk orientasi gaji dan eksistensi sebuah pekerjaan . Sekolah yang berani memberikan tunjangan kesejahteraan yang tinggi untuk para guru dan karyawannya pasti akan diantri oleh ratusan pencari kerja. Sementara sekolah swasta yang hanya mampu memberikan upah kecil untuk guru-gurunya menunggu uluran tangan para penderma jasa pendidikan. Atau jika tidak, sekolah-sekolah miskin ini sekedar menjadi batu loncatan para sarjana muda untuk menempuh karirnya. Ketika belum mendapat pekerjaan yang diharapkan, ia mengajar di sekolah tersebut, tetapi saat dibuka lowongan CPNS atau pendaftaran tenaga pengajar di lembaga pendidikan yang lebih elit, begitu saja ia meninggalkannya seperti tempat singgah.

Penulis mencoba menilik kembali tentang sejarah pendidikan di Indonesia. Pada masa pra kemerdekaan, ketika belum ada lembaga-lembaga yang bernama sekolah, saat komersialisasi pendidikan belum lahir, tatkala keinginan untuk belajar terkekang oleh penjajah, para Ulama’ dan Kiai tanpa pamrih nggulowentah pemuda-pemuda secara non formal di surau, langgar, padepokan, pesantren, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh seperti para Sunan Walisongo yang menjadi awal sejarah pendidikan islam di indonesia, Ki Hajar Dewantoro dengan Taman Siswanya, Raden Ajeng Kartini dengan perjuanganya dalam surat Habis Gelap Terbitlah Terang, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan masih banyak lagi adalah Guru-guru teladan yang patut dicontoh kiprahnya. Pada masa mereka belum ada pembukaan pendaftaran lowongan menjadi Guru. Semua orang berilmu mempunyai kesempatan menjadi praktisi pendidikan dengan modal keikhlasan dan perjuangan. Guru tidak sekedar sebagai pengajar di dalam gedung yang dibatasi jam mengajar. Guru yang benar-benar guru, digugu lan ditiru. Guru yang tidak harus bertandatangan kontrak kerja dengan spesifikasi honorarium setiap bulannya. Guru yang benar-benar mengemban amanat pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ada yang sedikit mengganjal di benak penulis, ketika mendengar berita tentang demonstrasi para Guru yang menuntut kenaikan gaji. Memang tidak dipungkiri, Guru juga manusia yang membutuhkan materi untuk kesejahteraan hidup dirinya dan keluarganya. Menuntut keadilan itu hak setiap orang. Akan tetapi alangkah etisnya apabila Guru tidak perlu melakukan tindakan-tindakan yang menurunkan nilai keguruannya. Kesan pendidikan menjadi materialsistis. Imam Al-Ghozali mengatakan bahwa Guru ibarat cermin bayangan, tidak mungkin bayangan itu lurus jika tongkatnya saja bengkok. Jika para Guru saja sudah membudayakan demonstrasi menuntut kenaikan gaji, tentu akan sulit ditemukan lagi ada orang yang benar-benar bekerja dengan tulus dan ikhlas, apalagi semata-mata mengabdi keapada masyarakat. Ini terbukti dari profesi yang paling elit, Presiden, anggota dewan, bahkan buruh juga menuntut kenaikan gaji. Sehingga pada akhirnya pendidikan justru mencerdaskan bangsa untuk pandai menipu dan korupsi.

Jika berbicara tentang nasib Guru pada masa sekarang ini tentu lebih baik dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Perhatian dan penghargaan pemerintah pada kinerja para Guru dalam segi material meningkat. Adanya tunjangan profesi dan tunjangan insentif bagi guru-guru swasta cukup menjadi salah satu bukti. Program impassing dan sertifikasi memberi kesempatan mereka untuk meningkatkan standar profesi. Akan tetapi lagi-lagi hal tersebut sebaiknya menjadi renungan tersendiri bagi pribadi Guru. Kesempatan mengajar merupakan anugerah sekaligus amanah yang berat. Anugerah karena dapat berpartisipasi dalam tugas kemanusiaan, bahkan bisa disebut tugas ilahiah atau ibadah. Amanah yang berat sebab harus memikul tanggungjawab akal, moral, dan spiritual generasi masa depan. Penulis berharap, penghargaan tersebut bukan justru membuat para Guru melupakan tugas utamanya sebagai pendidik. Sebagai contoh, maraknya pelatihan dan seminar pendidikan tidak sekedar untuk mendapatkan sertifikat sebagai syarat penunjang diterimanya pengajuan sertifikasi, tetapi untuk peningkatan mutu pendidikan.

Pada dasarnya menjadi Guru di Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, Perguruan Tinggi, maupun lembaga non formal TPA, Majlis Ta’lim, Madrasah Diniyah, dan yang lainnya semua sama. Tugas mendidik, transformasi ilmu pengetahuan, penanaman nilai kehidupan menjadi tanggungjawab guru secara umum. Jadi, menurut penulis menjadi guru apa saja itu selalu tepat. Untuk menjadi guru tidak harus melampirkan ijazah. Jika ijazah hanya formalitas, maka profesi Guru juga formalitas. Guru-guru besar bangsa kita justru tanpa ijazah dan gelar kesarjanaan. Jika berbicara tentang profesionalisme, rujukannya bukan sertifikat atau ijazah, akan tetapi bisa karena terbiasa. Pepatah jawa mengatakan witing tresno jalaran seko kulino, tumbuhnya benih cinta karena sering bersama, begitu pula dalam hal mengajar. Witing iso jalaran seko kulino. Ketika kita sudah terbiasa berinteraksi dengan anak didik dan proses belajar mengajar lambat laun akan menjadi profesional.

Hal ini menjadi renungan tersendiri bagi penulis. Bersyukur menjadi Guru di sebuah Taman Kanak-kanak. Allah S.W.T berfirman dalam surat Al-Mujadalah ayat 11: “Yarfa’illahulladziina aamanuu minkum walladziina uutul ‘ilma darojaat”, yang artinya: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat”. Derajat orang berilmu itu tidak dinilai dari materi, tetapi karena kemulyaan akal budi. Menjadi guru bukan sekedar untuk mencari pekerjaan dan mencari rejeki halal melalui jasa pendidikan, tetapi lebih dari itu. Menjadi guru adalah menyemai aset masa depan. Jadi menjadi guru apa saja dan di mana saja adalah tetap tepat.

Kotagede, 15 April 2011

Jumat, 15 Oktober 2010

CERPEN

IBU GURU WATI

Sesungging senyum. Jilbabnya ditekuk rapi.
“Wati. Ibu Guru Wati, begitu mereka memanggilku. Anak-anak terlalu sulit mengucapkan kata Saras, jadi Wati saja!” Senyumnya merekah. Kalem.
Aku merangkulnya. Lama tak jumpa. Perempuan yang dewasa. Sangat berbeda dengan Saraswati yang kukenal dulu. Gadis kecil yang hampir tiap hari menangis di kelas dan mengadukanku kepada Ibu Guru karena aku mencoret-coret lukisannya. Kuakui, ia memang pandai menggambar sejak kecil. Dan aku adalah teman yang selalu iri dengan segala kelebihannya waktu itu.
“Bagaimana kabarmu, Mbak Yul?”
Bukan suaranya yang berubah menurutku. Tapi gaya dan nada bicaranya jauh lebih santun. Tentu saja ia tidak sedang memerankan tokoh dengan karakter baru seperti waktu ia diminta Bu Guru untuk menjadi Srikandi pada saat pentas akhir tahun di sekolah jaman kecil dulu.
“Baik… Wah… kamu benar-benar telah menjadi seorang Ibu Guru ya, Ras?…” kataku sambil menepuk-nepuk bahunya. Ia masih tetap ramping.
“Gadis kecilmu mirip sekali denganmu. Semoga saja tidak nakal seperti ibunya dulu.” Ia melirik Amira, buah hatiku yang riang bermain kuda goyang di halaman.
“Ternyata kesan nakalku masih selalu menempel dalam ingatanmu ya? hahaha” sahutku.
Sesaat kami sama-sama tergelak.
“Ya tentulah, Mba’. Soalnya, tiap kali aku menghadapi murid-muridku yang bermasalah, aku pasti ingat teman-teman kecilku yang bermasalah. Silahkan duduk…” katanya sembari membuka map formulir pendaftaran anak didik baru. Lalu, kami tertawa lagi mengingat masa kanak-kanak dulu. Sedikit kerutan di ujung matanya tampak jelas ketika ia tertawa. Sama sepertiku. Bedanya, kulit itu masih belum terjamah laki-laki.
Aku banyak tahu latar belakang kehidupannya. Dia anak petani desa. Tidak kaya juga tidak kurang. Anak kedua dari tiga bersaudara. Ia kuliah sebab orang tuanya benar-benar sudi menyekolahkan. Tidak sepertiku. Bapak lebih memilih menikahkanku dengan seorang polisi yang kebetulan pernah singgah di rumah waktu bapak nyalon lurah.
Lima tahun yang lalu, waktu aku hamil muda dan masih tinggal di desa, sempat kudengar kabar ia dipinang anak juragan beras di kampung kami. Tapi kabar yang kudengar pula, pinangan itu ditarik kembali sebab orang tuanya berkonflik dengan juragan beras. Itu cerita dari para tetangga sehingga kemudian ia memutuskan untuk bekerja menjadi seorang guru di rantau sebab tak ingin jadi bahan gunjingan. Kabar berikutnya lama tak kutahu. Kecuali hari itu tak sengaja aku bertemu dengannya ketika mengantar anakku ke sebuah tempat wisata. Kami berpapasan saat ia menunggui antrian tiket mainan boom-boom car untuk murid-muridnya. Pertemuan yang tak direncana itu hanya beberapa menit, sehingga kami hanya sempat sedikit bercakap-cakap, bertukar nomor telepon dan alamat.
“Anak ke dua ya?” Tanya Saras.
“Oh… iya. Anak ke dua”, sahutku.
Ia kembali menulis data anakku.
Aku tak habis pikir, kenapa jauh-jauh dari rumah ia pergi ke tanah rantau hanya untuk menjadi Guru TK? Apakah karena saking sulitnya mencari pekerjaan meski sarjana yang IPK-nya cumlaude sekalipun? Saras perempuan cerdas, kreatif dan mandiri. Itu yang kukenal sejak dulu. Ia Sarjana Ekonomi lulusan universitas ternama. Sangat tidak relevan sekali dengan profesi yang ia tekuni saat ini. Apalagi hanya sebuah Taman Kanak-kanak pinggiran. Lebih tepatnya sekolah miskin untuk orang-orang miskin. Begitu yang kutahu tentang sekolah tersebut di kota ini. Jika kemudian aku membawa Amira, semata karena aku percaya pada sahabatku yang mengajarnya.
“Sudah, Mbak. untuk pengambilan seragam senin depan ya!”
Saras tersenyum. Sepertinya ia tahu aku memperhatikannya sejak tadi.
“Kenapa, MbaK? Kangen ya sama aku?” Ia tersenyum sembari menyerahkan kuitansi bukti pendaftaran.
“Betah ya ngajar di sini?” tanyaku.
“Ya… begitulah. Anak-anak di sini yang membuatku betah”. Jawabnya diiringi senyum khas. Kemudian kami berpisah. Aku pamit pulang sebab urusan pendaftaran Amira sudah selesai.

***
Hari pertama Amira masuk sekolah, tentu saja kesibukanku bertambah. Selain mengerjakan urusan rumah, aku juga harus pergi mengantar dan menungguinya sampai betah. Untung saja Mas Guntur, suamiku, sejak buntut kami dua, ia lebih bisa diajak bekerjasama untuk mengurus mereka. Ia yang mengurus Abim sampai mengantarnya ke sekolah, sehingga aku lebih bisa memperhatikan si bungsu yang baru mau masuk TK itu.
Sepuluh menit menuju sekolah Amira. Aku berangkat setengah jam lebih awal dari jadwal masuk supaya tidak tergesa-gesa di jalan. Selain itu agar Amira bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya lebih dahulu. Sebelum tiba, kusempatkan mampir ke alamat yang diberikan Saras kemarin. Sekedar ingin tahu rumah tinggalnya.
Njurang RT 20 RW 3. Perkampungan di pinggiran sungai yang sumpek dan bisa dibilang agak kumuh. Awalnya aku tak berniat berhenti untuk sekedar menanyakan sebelah mana rumah kontrakan Saras. Tapi Amira tiba-tiba menangis sebab jepit rambutnya terjatuh. Terpaksa aku harus berhenti dan turun dari motor. Saat itulah aku berpapasan dengan Saras bersama seorang gadis remaja berseragam SMA.
“Mbak Yuli?!” tampakanya ia terkejut melihatku.
“Eh, Bu Guru. Iya, kebetulan lewat sini. Kontrakanmu di daerah sini ya?” Aku membuat alasan dan berbasa-basi.
“Iya mbak, itu sebelah pojok”, katanya sambil menuding sebuah rumah sederhana yang ada bannernya ‘JAHIT, BORDIR SARASWATI’.
“Kamu…?”
Dahiku berkerut. Saras nyambi membuka jasa jahit dan bordir? Hebat. Apa mungkin gaji guru swasta sepertinya memang benar-benar tak cukup untuk hidup? Benakku penuh pertanyaan tak terlontar.
“Betul mbak, garmen kecil-kecilan. Alhamdulillah usaha yang sudah hampir setahun ini, berjalan lancar. Oiya, kenalkan, ini Septi anaknya Wak Kisno, njenengan ingat kan Wak Kisno Uwak saya itu lho Mbak, yang dekat balai desa. Saya ajak dia ke sini untuk bantu-bantu njahit. Sekalian sekolah di sini!”
“O gitu. Ini si Septi yang dulu temannya Ambar adek saya itu to? Saya kira adikmu siapa itu Hera? Oalah, maklum pangling, lama tidak ketemu…”
“Oh, Hera sekarang sudah kerja di rumah sakit, mbak. Tahun kemarin diterima jadi perawat.”
“Oya? Wah, sukses dong adekmu itu, Ras?”
Kusalami Septi. Ia mencium tanganku penuh hormat. Ia teman sekelas Ambar, adikku, waktu SD. Ambar sekarang sudah kuliah semester tiga. Kalau Septi baru memakai baju SMA berarti ia berhenti beberapa tahun. Aku memaklumi, Wak Kisno hanya buruh tani yang tak mesti penghasilannya. Saras tidak bercerita lebih panjang lagi kepadaku sebab kami harus segera berangkat ke sekolah, tapi aku justru menyimpulkan dan bertanya-tanya sendiri. Apakah ia juga membantu biaya pendidikan Septi? Bisa saja. Tapi, sesukses itukah bisnis kecilnya sehingga mampu membiayai sekolah Septi? Ah, aku terlalu berpikir jauh tentang urusan orang lain. Tapi bagaimanapun, jika benar segala prasangkaku, aku salut dengan kegigihan, semangat dan kreativitasnya. Sebagai seorang guru, ia tak hanya bergantung pada gaji sebuah lembaga pendidikan. Ia benar-benar ibu guru, tak hanya bagi murid-muridnya. Tapi juga untuk Septi dan aku.
Kami berjalan beriringan sampai jalan raya. Kutuntun sepeda motorku. Amira nangkring di atas jok. Ah, aku kembali mengagumi teman masa kecilku itu. Aku jadi malu sendiri dalam hati. Secara ekonomi, tentu aku lebih beruntung daripada dia. Tak perlu bekerja susah payah, cukup menunggu setoran gaji dari suami, segalanya sudah tercukupi. Bahkan lebih. Jangankan membiayai sekolah anak orang lain, anak sendiri saja, kadang lupa sampai nunggak beberapa bulan. Lupa karena kurang peduli. Bahkan lebih tertib jadwal ke salon dari pada mengecek iuran bulanan Abim.
Septi berpamitan ketika biskota yang akan ditumpanginya tiba. Sementara Saras kuboncengkan bersama anakku. Jalanan sudah lebih ramai ketimbang waktu aku berangkat tadi. Semua tampak tergesa-gesa untuk tiba ditempat yang dituju. Orang-orang berbaju dinas maupun berpakaian bebas. Tukang Soto dan penjual Bakpao dengan semangat mendorong gerobaknya. Remaja-remaja berseragam abu-abu putih berkendara motor berseliweran dari arah belakang maupun depan. Barisan sepeda ontel para ABG biru putih, dan anak-anak kecil memanggul tas-tas mungil digandeng perempuan-perempuan sebayaku hendak menyeberang, membuatku harus berbagi jalan, pelan-pelan. Kira-kira apa yang ada dalam benak mereka? Tentu saja tidak sama. Ada yang menyunggi segunung harapan dan cita-cita. Tapi mungkin ada juga yang sepertiku dulu. Sekedar pergi tanpa menggenggam mimpi. Aku tersenyum sendiri. Bersukur tanpa henti sebab nasib baik senantiasa melimpahi. Hidup normal, bahagia sejahtera bersama anak dan suami. Beberapa menit aku larut dalam lamunan. Saras terus bercakap-cakap dengan Amira sepanjang perjalanan hingga kami sampai di sekolah.
Saras menuntun Amira menuju halaman, sementara aku memarkir motor. Kulihat anak-anak kecil itu berlarian menyambut sang ibu guru, berlomba-lomba menyalami, dan berebut menggandeng lengannya. Seragam mereka tampak kusam tak terawat. Tas dan sepatu juga usang dan murahan. Amira kelihatan paling mencolok di antara kerumunan. Tampak sekali kesenjangan jika anak-anak semacam Amira bersama mereka. Tapi aku merasa tak keliru memasukkannya di sekolah ini. Setidaknya ia bisa belajar mengerti, memaklumi, dan berbagi dengan anak-anak yang tak seberuntung dirinya.
Aku sekarang tahu kenapa Saras kerasan menjadi Ibu Guru di sini. Kubayangkan seandainya aku adalah salah satu dari anak-anak kecil itu, aku pasti akan menarik tangannya kuat-kuat agar ia tidak pergi meninggalkan kami.
Aku menghela nafas. Ada yang tiba-tiba menyesakkan dada. Mereka, anak-anak kecil itu dan seorang ibu guru. Ironis sekali, ketika di luar sana banyak sekali pejabat yang korupsi, para anggota dewan sibuk memperkaya diri, pegawai-pegawai berdemo untuk kenaikan gaji, Ibu Guru Wati terus bertahan mengabdi demi pendidikan.

(Kotagede, 9 oktober 2010)

Sabtu, 28 November 2009

MEGATRUH, DAN CERITA IDUL ADKHA

Ini tembang Megatruh,

sigra milir kang gèthèk sinangga bajul, kawan dasa kang njagèni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kéring, kang gèthèk lampahe alon


Getih… benarkah itu pengorbanan?
Kasih… Ismail rebah, cinta berlumur pada pedang sang ayah

Waktu itu,
Sendu tangis ibu, kenapa rindu berakhir pilu?
lelah berlari antara shofa-marwah
sebuah persalinan berdarah-darah

kisah susah berawal dari cemburu Sarah
terusirlah dia, yang buncit menahan sakit
Tamsil,….
Zamzam muncrat saat jabang bayi menggeliat
Hajar, sebongkah batu, perempuan tanpa susu, namanya setegar itu

Apa kau punya cerita baru?
Selain tentang harapanmu pada surga?
Selain tentang ketakutanmu pada neraka?
Selain pada yang sudah kautulis dan kaubaca di buku-bukunya?

Oh… aku tahu…
Takbirmu, tahmidmu, menggema sekilas pada corong speaker di pucuk kubah
Ubun-ubunmu menempel Ka’bah di ujung sajadah
Tapi kemudian, lupa kenyang saat rendang terhidang di meja makan
lupa pulang saat gendang pesta berdentang-dentang

lalu, kemana cerita ‘adkha’ yang sesungguhnya?

Megat-ruh kembali mengalunkan tembang
Mata tak pejam saat parang siap menebang,
“ikhlas itu tidak sakit, Sayang!”

Wisma Ijo, 27 November 2009

Minggu, 25 Oktober 2009

NOT NOT OKTOBER

Kembali mengalun dawaimu tak tentu
Mengeja September usai pada akhir kata damai
Sementara aku sedang merilis not not baru

Syair tak satu
Syair tak satu

Kembali gerakkan jemari
Menghitung birama senada langkah kaki
Tembang ini menggandeng matahari
Mengelap mendung, mewarna pelangi
--------------“pelangi-pelangi, alangkah indahmu
--------------“merah kuning hijau, di langit yang biru
--------------“pelukismu agung, siapa gerangan?

Not ini belum rapi
Tapi pasti hampir jadi
Oktober tak lagi Juni
Aku ingin bisa bernyanyi
Mari….

Wisma Ijo, 22 Oktober 2009