Sabtu, 16 April 2011

esay pas mbulet...

GTT, GURU TETAP TEPAT

Lima tahun yang lalu, saat pertama kali menjadi Guru di Taman Kanak-kanak, penulis merasa profesi ini bukan pilihan, tapi keterpaksaan karena sulitnya mencari peluang pekerjaan. Sarjana pendidikan bahasa asing mengajar Taman Kanak-kanak? Tentu tidak relevan dengan jurusan yang diambil di bangku kuliah. Pemikiran yang sangat pragmatis sekali. Sebab rata-rata orang bersekolah atau mengambil jenjang pendidikan pasti disesuaikan dengan harapan di masa depan. Ijasah tidak sekedar sebagai bukti keberhasilan menyelesaikan sekolah atau bangku kuliah. Tetapi ijasah dicari bahkan seseorang nekad memalsukannya hanya demi sebuah pekerjaan yang memiliki nilai prestise dan materi yang tinggi.

Menjadi guru adalah pilihan, apalagi di lembaga pendidikan swasta yang pengelolaannya seringkali menunggu tali kasih para donatur. Jer basuki mowo beyo, segala kemajuan membutuhkan biaya, sekolah-sekolah negeri dan swasta yang terjamin pendanaannya tentu lebih mampu membeli sarana dan prasarana yang memadai, serta membayar tenaga pengajar yang profesional sesuai bidangnya. Selama ini, penerimaan CPNS selalu disambut antusiasme masyarakat. Sekolah negeri selalu menjadi prioritas dalam segala hal, baik sumber daya manusia maupun sarana dan prasarananya. Beribu-ribu sarjana pendidikan memenuhi antrian panjang pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil. Tentu saja orientasi pekerjaan tetap dan jaminan masa depan yang diharapkan. Sementara itu, sekolah swasta selalu menjadi anak tiri, alternatif terakhir saat seseorang tidak diterima menjadi pegawai negeri dan tidak punya inisiatif untuk berwirausaha. Sehingga pada masa sekarang ini, sangat jarang sekali ditemukan orang-orang yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk pendidikan. Rata-rata orang melamar menjadi Guru di sebuah lembaga pendidikan tertentu untuk orientasi gaji dan eksistensi sebuah pekerjaan . Sekolah yang berani memberikan tunjangan kesejahteraan yang tinggi untuk para guru dan karyawannya pasti akan diantri oleh ratusan pencari kerja. Sementara sekolah swasta yang hanya mampu memberikan upah kecil untuk guru-gurunya menunggu uluran tangan para penderma jasa pendidikan. Atau jika tidak, sekolah-sekolah miskin ini sekedar menjadi batu loncatan para sarjana muda untuk menempuh karirnya. Ketika belum mendapat pekerjaan yang diharapkan, ia mengajar di sekolah tersebut, tetapi saat dibuka lowongan CPNS atau pendaftaran tenaga pengajar di lembaga pendidikan yang lebih elit, begitu saja ia meninggalkannya seperti tempat singgah.

Penulis mencoba menilik kembali tentang sejarah pendidikan di Indonesia. Pada masa pra kemerdekaan, ketika belum ada lembaga-lembaga yang bernama sekolah, saat komersialisasi pendidikan belum lahir, tatkala keinginan untuk belajar terkekang oleh penjajah, para Ulama’ dan Kiai tanpa pamrih nggulowentah pemuda-pemuda secara non formal di surau, langgar, padepokan, pesantren, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh seperti para Sunan Walisongo yang menjadi awal sejarah pendidikan islam di indonesia, Ki Hajar Dewantoro dengan Taman Siswanya, Raden Ajeng Kartini dengan perjuanganya dalam surat Habis Gelap Terbitlah Terang, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan masih banyak lagi adalah Guru-guru teladan yang patut dicontoh kiprahnya. Pada masa mereka belum ada pembukaan pendaftaran lowongan menjadi Guru. Semua orang berilmu mempunyai kesempatan menjadi praktisi pendidikan dengan modal keikhlasan dan perjuangan. Guru tidak sekedar sebagai pengajar di dalam gedung yang dibatasi jam mengajar. Guru yang benar-benar guru, digugu lan ditiru. Guru yang tidak harus bertandatangan kontrak kerja dengan spesifikasi honorarium setiap bulannya. Guru yang benar-benar mengemban amanat pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ada yang sedikit mengganjal di benak penulis, ketika mendengar berita tentang demonstrasi para Guru yang menuntut kenaikan gaji. Memang tidak dipungkiri, Guru juga manusia yang membutuhkan materi untuk kesejahteraan hidup dirinya dan keluarganya. Menuntut keadilan itu hak setiap orang. Akan tetapi alangkah etisnya apabila Guru tidak perlu melakukan tindakan-tindakan yang menurunkan nilai keguruannya. Kesan pendidikan menjadi materialsistis. Imam Al-Ghozali mengatakan bahwa Guru ibarat cermin bayangan, tidak mungkin bayangan itu lurus jika tongkatnya saja bengkok. Jika para Guru saja sudah membudayakan demonstrasi menuntut kenaikan gaji, tentu akan sulit ditemukan lagi ada orang yang benar-benar bekerja dengan tulus dan ikhlas, apalagi semata-mata mengabdi keapada masyarakat. Ini terbukti dari profesi yang paling elit, Presiden, anggota dewan, bahkan buruh juga menuntut kenaikan gaji. Sehingga pada akhirnya pendidikan justru mencerdaskan bangsa untuk pandai menipu dan korupsi.

Jika berbicara tentang nasib Guru pada masa sekarang ini tentu lebih baik dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Perhatian dan penghargaan pemerintah pada kinerja para Guru dalam segi material meningkat. Adanya tunjangan profesi dan tunjangan insentif bagi guru-guru swasta cukup menjadi salah satu bukti. Program impassing dan sertifikasi memberi kesempatan mereka untuk meningkatkan standar profesi. Akan tetapi lagi-lagi hal tersebut sebaiknya menjadi renungan tersendiri bagi pribadi Guru. Kesempatan mengajar merupakan anugerah sekaligus amanah yang berat. Anugerah karena dapat berpartisipasi dalam tugas kemanusiaan, bahkan bisa disebut tugas ilahiah atau ibadah. Amanah yang berat sebab harus memikul tanggungjawab akal, moral, dan spiritual generasi masa depan. Penulis berharap, penghargaan tersebut bukan justru membuat para Guru melupakan tugas utamanya sebagai pendidik. Sebagai contoh, maraknya pelatihan dan seminar pendidikan tidak sekedar untuk mendapatkan sertifikat sebagai syarat penunjang diterimanya pengajuan sertifikasi, tetapi untuk peningkatan mutu pendidikan.

Pada dasarnya menjadi Guru di Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, Perguruan Tinggi, maupun lembaga non formal TPA, Majlis Ta’lim, Madrasah Diniyah, dan yang lainnya semua sama. Tugas mendidik, transformasi ilmu pengetahuan, penanaman nilai kehidupan menjadi tanggungjawab guru secara umum. Jadi, menurut penulis menjadi guru apa saja itu selalu tepat. Untuk menjadi guru tidak harus melampirkan ijazah. Jika ijazah hanya formalitas, maka profesi Guru juga formalitas. Guru-guru besar bangsa kita justru tanpa ijazah dan gelar kesarjanaan. Jika berbicara tentang profesionalisme, rujukannya bukan sertifikat atau ijazah, akan tetapi bisa karena terbiasa. Pepatah jawa mengatakan witing tresno jalaran seko kulino, tumbuhnya benih cinta karena sering bersama, begitu pula dalam hal mengajar. Witing iso jalaran seko kulino. Ketika kita sudah terbiasa berinteraksi dengan anak didik dan proses belajar mengajar lambat laun akan menjadi profesional.

Hal ini menjadi renungan tersendiri bagi penulis. Bersyukur menjadi Guru di sebuah Taman Kanak-kanak. Allah S.W.T berfirman dalam surat Al-Mujadalah ayat 11: “Yarfa’illahulladziina aamanuu minkum walladziina uutul ‘ilma darojaat”, yang artinya: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat”. Derajat orang berilmu itu tidak dinilai dari materi, tetapi karena kemulyaan akal budi. Menjadi guru bukan sekedar untuk mencari pekerjaan dan mencari rejeki halal melalui jasa pendidikan, tetapi lebih dari itu. Menjadi guru adalah menyemai aset masa depan. Jadi menjadi guru apa saja dan di mana saja adalah tetap tepat.

Kotagede, 15 April 2011