Jumat, 15 Oktober 2010

CERPEN

IBU GURU WATI

Sesungging senyum. Jilbabnya ditekuk rapi.
“Wati. Ibu Guru Wati, begitu mereka memanggilku. Anak-anak terlalu sulit mengucapkan kata Saras, jadi Wati saja!” Senyumnya merekah. Kalem.
Aku merangkulnya. Lama tak jumpa. Perempuan yang dewasa. Sangat berbeda dengan Saraswati yang kukenal dulu. Gadis kecil yang hampir tiap hari menangis di kelas dan mengadukanku kepada Ibu Guru karena aku mencoret-coret lukisannya. Kuakui, ia memang pandai menggambar sejak kecil. Dan aku adalah teman yang selalu iri dengan segala kelebihannya waktu itu.
“Bagaimana kabarmu, Mbak Yul?”
Bukan suaranya yang berubah menurutku. Tapi gaya dan nada bicaranya jauh lebih santun. Tentu saja ia tidak sedang memerankan tokoh dengan karakter baru seperti waktu ia diminta Bu Guru untuk menjadi Srikandi pada saat pentas akhir tahun di sekolah jaman kecil dulu.
“Baik… Wah… kamu benar-benar telah menjadi seorang Ibu Guru ya, Ras?…” kataku sambil menepuk-nepuk bahunya. Ia masih tetap ramping.
“Gadis kecilmu mirip sekali denganmu. Semoga saja tidak nakal seperti ibunya dulu.” Ia melirik Amira, buah hatiku yang riang bermain kuda goyang di halaman.
“Ternyata kesan nakalku masih selalu menempel dalam ingatanmu ya? hahaha” sahutku.
Sesaat kami sama-sama tergelak.
“Ya tentulah, Mba’. Soalnya, tiap kali aku menghadapi murid-muridku yang bermasalah, aku pasti ingat teman-teman kecilku yang bermasalah. Silahkan duduk…” katanya sembari membuka map formulir pendaftaran anak didik baru. Lalu, kami tertawa lagi mengingat masa kanak-kanak dulu. Sedikit kerutan di ujung matanya tampak jelas ketika ia tertawa. Sama sepertiku. Bedanya, kulit itu masih belum terjamah laki-laki.
Aku banyak tahu latar belakang kehidupannya. Dia anak petani desa. Tidak kaya juga tidak kurang. Anak kedua dari tiga bersaudara. Ia kuliah sebab orang tuanya benar-benar sudi menyekolahkan. Tidak sepertiku. Bapak lebih memilih menikahkanku dengan seorang polisi yang kebetulan pernah singgah di rumah waktu bapak nyalon lurah.
Lima tahun yang lalu, waktu aku hamil muda dan masih tinggal di desa, sempat kudengar kabar ia dipinang anak juragan beras di kampung kami. Tapi kabar yang kudengar pula, pinangan itu ditarik kembali sebab orang tuanya berkonflik dengan juragan beras. Itu cerita dari para tetangga sehingga kemudian ia memutuskan untuk bekerja menjadi seorang guru di rantau sebab tak ingin jadi bahan gunjingan. Kabar berikutnya lama tak kutahu. Kecuali hari itu tak sengaja aku bertemu dengannya ketika mengantar anakku ke sebuah tempat wisata. Kami berpapasan saat ia menunggui antrian tiket mainan boom-boom car untuk murid-muridnya. Pertemuan yang tak direncana itu hanya beberapa menit, sehingga kami hanya sempat sedikit bercakap-cakap, bertukar nomor telepon dan alamat.
“Anak ke dua ya?” Tanya Saras.
“Oh… iya. Anak ke dua”, sahutku.
Ia kembali menulis data anakku.
Aku tak habis pikir, kenapa jauh-jauh dari rumah ia pergi ke tanah rantau hanya untuk menjadi Guru TK? Apakah karena saking sulitnya mencari pekerjaan meski sarjana yang IPK-nya cumlaude sekalipun? Saras perempuan cerdas, kreatif dan mandiri. Itu yang kukenal sejak dulu. Ia Sarjana Ekonomi lulusan universitas ternama. Sangat tidak relevan sekali dengan profesi yang ia tekuni saat ini. Apalagi hanya sebuah Taman Kanak-kanak pinggiran. Lebih tepatnya sekolah miskin untuk orang-orang miskin. Begitu yang kutahu tentang sekolah tersebut di kota ini. Jika kemudian aku membawa Amira, semata karena aku percaya pada sahabatku yang mengajarnya.
“Sudah, Mbak. untuk pengambilan seragam senin depan ya!”
Saras tersenyum. Sepertinya ia tahu aku memperhatikannya sejak tadi.
“Kenapa, MbaK? Kangen ya sama aku?” Ia tersenyum sembari menyerahkan kuitansi bukti pendaftaran.
“Betah ya ngajar di sini?” tanyaku.
“Ya… begitulah. Anak-anak di sini yang membuatku betah”. Jawabnya diiringi senyum khas. Kemudian kami berpisah. Aku pamit pulang sebab urusan pendaftaran Amira sudah selesai.

***
Hari pertama Amira masuk sekolah, tentu saja kesibukanku bertambah. Selain mengerjakan urusan rumah, aku juga harus pergi mengantar dan menungguinya sampai betah. Untung saja Mas Guntur, suamiku, sejak buntut kami dua, ia lebih bisa diajak bekerjasama untuk mengurus mereka. Ia yang mengurus Abim sampai mengantarnya ke sekolah, sehingga aku lebih bisa memperhatikan si bungsu yang baru mau masuk TK itu.
Sepuluh menit menuju sekolah Amira. Aku berangkat setengah jam lebih awal dari jadwal masuk supaya tidak tergesa-gesa di jalan. Selain itu agar Amira bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya lebih dahulu. Sebelum tiba, kusempatkan mampir ke alamat yang diberikan Saras kemarin. Sekedar ingin tahu rumah tinggalnya.
Njurang RT 20 RW 3. Perkampungan di pinggiran sungai yang sumpek dan bisa dibilang agak kumuh. Awalnya aku tak berniat berhenti untuk sekedar menanyakan sebelah mana rumah kontrakan Saras. Tapi Amira tiba-tiba menangis sebab jepit rambutnya terjatuh. Terpaksa aku harus berhenti dan turun dari motor. Saat itulah aku berpapasan dengan Saras bersama seorang gadis remaja berseragam SMA.
“Mbak Yuli?!” tampakanya ia terkejut melihatku.
“Eh, Bu Guru. Iya, kebetulan lewat sini. Kontrakanmu di daerah sini ya?” Aku membuat alasan dan berbasa-basi.
“Iya mbak, itu sebelah pojok”, katanya sambil menuding sebuah rumah sederhana yang ada bannernya ‘JAHIT, BORDIR SARASWATI’.
“Kamu…?”
Dahiku berkerut. Saras nyambi membuka jasa jahit dan bordir? Hebat. Apa mungkin gaji guru swasta sepertinya memang benar-benar tak cukup untuk hidup? Benakku penuh pertanyaan tak terlontar.
“Betul mbak, garmen kecil-kecilan. Alhamdulillah usaha yang sudah hampir setahun ini, berjalan lancar. Oiya, kenalkan, ini Septi anaknya Wak Kisno, njenengan ingat kan Wak Kisno Uwak saya itu lho Mbak, yang dekat balai desa. Saya ajak dia ke sini untuk bantu-bantu njahit. Sekalian sekolah di sini!”
“O gitu. Ini si Septi yang dulu temannya Ambar adek saya itu to? Saya kira adikmu siapa itu Hera? Oalah, maklum pangling, lama tidak ketemu…”
“Oh, Hera sekarang sudah kerja di rumah sakit, mbak. Tahun kemarin diterima jadi perawat.”
“Oya? Wah, sukses dong adekmu itu, Ras?”
Kusalami Septi. Ia mencium tanganku penuh hormat. Ia teman sekelas Ambar, adikku, waktu SD. Ambar sekarang sudah kuliah semester tiga. Kalau Septi baru memakai baju SMA berarti ia berhenti beberapa tahun. Aku memaklumi, Wak Kisno hanya buruh tani yang tak mesti penghasilannya. Saras tidak bercerita lebih panjang lagi kepadaku sebab kami harus segera berangkat ke sekolah, tapi aku justru menyimpulkan dan bertanya-tanya sendiri. Apakah ia juga membantu biaya pendidikan Septi? Bisa saja. Tapi, sesukses itukah bisnis kecilnya sehingga mampu membiayai sekolah Septi? Ah, aku terlalu berpikir jauh tentang urusan orang lain. Tapi bagaimanapun, jika benar segala prasangkaku, aku salut dengan kegigihan, semangat dan kreativitasnya. Sebagai seorang guru, ia tak hanya bergantung pada gaji sebuah lembaga pendidikan. Ia benar-benar ibu guru, tak hanya bagi murid-muridnya. Tapi juga untuk Septi dan aku.
Kami berjalan beriringan sampai jalan raya. Kutuntun sepeda motorku. Amira nangkring di atas jok. Ah, aku kembali mengagumi teman masa kecilku itu. Aku jadi malu sendiri dalam hati. Secara ekonomi, tentu aku lebih beruntung daripada dia. Tak perlu bekerja susah payah, cukup menunggu setoran gaji dari suami, segalanya sudah tercukupi. Bahkan lebih. Jangankan membiayai sekolah anak orang lain, anak sendiri saja, kadang lupa sampai nunggak beberapa bulan. Lupa karena kurang peduli. Bahkan lebih tertib jadwal ke salon dari pada mengecek iuran bulanan Abim.
Septi berpamitan ketika biskota yang akan ditumpanginya tiba. Sementara Saras kuboncengkan bersama anakku. Jalanan sudah lebih ramai ketimbang waktu aku berangkat tadi. Semua tampak tergesa-gesa untuk tiba ditempat yang dituju. Orang-orang berbaju dinas maupun berpakaian bebas. Tukang Soto dan penjual Bakpao dengan semangat mendorong gerobaknya. Remaja-remaja berseragam abu-abu putih berkendara motor berseliweran dari arah belakang maupun depan. Barisan sepeda ontel para ABG biru putih, dan anak-anak kecil memanggul tas-tas mungil digandeng perempuan-perempuan sebayaku hendak menyeberang, membuatku harus berbagi jalan, pelan-pelan. Kira-kira apa yang ada dalam benak mereka? Tentu saja tidak sama. Ada yang menyunggi segunung harapan dan cita-cita. Tapi mungkin ada juga yang sepertiku dulu. Sekedar pergi tanpa menggenggam mimpi. Aku tersenyum sendiri. Bersukur tanpa henti sebab nasib baik senantiasa melimpahi. Hidup normal, bahagia sejahtera bersama anak dan suami. Beberapa menit aku larut dalam lamunan. Saras terus bercakap-cakap dengan Amira sepanjang perjalanan hingga kami sampai di sekolah.
Saras menuntun Amira menuju halaman, sementara aku memarkir motor. Kulihat anak-anak kecil itu berlarian menyambut sang ibu guru, berlomba-lomba menyalami, dan berebut menggandeng lengannya. Seragam mereka tampak kusam tak terawat. Tas dan sepatu juga usang dan murahan. Amira kelihatan paling mencolok di antara kerumunan. Tampak sekali kesenjangan jika anak-anak semacam Amira bersama mereka. Tapi aku merasa tak keliru memasukkannya di sekolah ini. Setidaknya ia bisa belajar mengerti, memaklumi, dan berbagi dengan anak-anak yang tak seberuntung dirinya.
Aku sekarang tahu kenapa Saras kerasan menjadi Ibu Guru di sini. Kubayangkan seandainya aku adalah salah satu dari anak-anak kecil itu, aku pasti akan menarik tangannya kuat-kuat agar ia tidak pergi meninggalkan kami.
Aku menghela nafas. Ada yang tiba-tiba menyesakkan dada. Mereka, anak-anak kecil itu dan seorang ibu guru. Ironis sekali, ketika di luar sana banyak sekali pejabat yang korupsi, para anggota dewan sibuk memperkaya diri, pegawai-pegawai berdemo untuk kenaikan gaji, Ibu Guru Wati terus bertahan mengabdi demi pendidikan.

(Kotagede, 9 oktober 2010)