Jumat, 22 Agustus 2008

Catatanku ttg menulis 1

BAGIKU, MENULIS TAK SEKEDAR MENGASAH MATA PENA

Beberapa menit yang lalu, aku telah mengkhatamkan sebuah novel karya Chiung Yao. Entah mengapa setiap kali aku membaca novel-novel Chiung Yao, aku tak begitu saja bisa melupakan kisah-kisahnya. Bahkan perasaanku, simpatik, kecewa, sedih, senang ketika membaca lakon tokoh-tokohnya begitu menempel di hati hingga berhari-hari. Aku mengagumi Chiung Yao. Aku mengagumi karya-karyanya. Ia penulis yang begitu lihai memvisualkan lakon kehidupan dan mengaduk-aduk perasaan pembaca. Selain itu, yang membuatku ngefans, banyak sekali novel-novelnya yang sudah difilmkan dan dialihbahasakan.
Oya, temen-temen… Kalau ada yang sempat membaca tulisanku di blog ini, dan sampean punya catatan-catatan tentang Chiung Yao, dikirim aja ke emailku pijers@yahoo.com Aku akan berterimakasih sekali.
Aku sekarang juga sedang search tentang dia di internet. Besok kalau aku sudah dapat data banyak tentang dia, insyaallah aku akan berbagi cerita lagi di blog ini. Ok?

Catatan singkat di atas akan mengawali tulisanku, betapa ajaibnya sebuah tulisan.

Definisi tulisan menurut versi penulis adalah sebagai berikut:
Tulisan adalah rangkaian huruf yang membentuk beberapa kata dan memiliki makna. Atau kalau di nahwukan, tulisan adalah kalam, yaitu allafdhu al murokkabu al mufidu bil wadh’i. Terjemahan indonesianya: kata-kata yang tersusun, bermakna dan disampaikan dengan sengaja untuk maksud dan tujuan tertentu.

Dia membandingkan antara ‘Novelis’ dan ‘Tuhan’? Oh… Allaahu As shomad. Lam Yakun Lahuu Kufuwan Ahad.
Lebaran tahun lalu, aku bertemu dengan teman SMA-ku di terminal Purwodadi. Pertemuan yang kebetulan itu membawa kami dalam sebuah perjalanan dalam bis antar kota yang sama pula. Begitulah sehingga kami berbincang panjang lebar sebagaimana teman lama yang tak pernah bertemu. Meskipun aku lebih banyak diam, mendengarkan ia yang pandai bicara dan bercerita.
Setelah bercerita panjang lebar membandingkan budaya di Kairo dan di Indonesia/ Jawa, ia menanyaiku tentang perbandingan ‘penulis novel’ dan ‘Tuhan’. Menyebalkan sekali. Dia menanyaiku dengan pertanyaan yang membuat otakku harus berputar.
Sekenanya saja aku menjawab meski aku merasa jawabanku sangat konyol bagi seorang alumni Al-Azhar dan mahasiswa S2 seperti dia. (hehe, aku gak pede ya?)
Tapi biar saja. Toh aku berhak mengeluarkan pendapat. Masih ada undang-undang yang melindungiku kalau dia protes.

Kukatakan kepadanya bahwa Novelis hanya seorang penerjemah lakon kehidupan. Sedangkan Gusti Allah adalah Tuhan maha pencipta lakon kehidupan.
Dia membandingkan bahwa Tuhan dan Novelis sama-sama berkuasa pada nasib, konflik dan ending lakon para tokoh-tokohnya. Aku menanggapinya, apakah ia aliran jabariyyah yang yakin 100 % bahwa semua tingkah laku manusia sekaligus jalan hidup mereka sudah tertulis dalam loh mahfudz sebagai sekenario hidupnya? Justru ia balik bertanya, apakah ada unsur qodariyah para tokoh dalam novel? Adakah dinamisme tokoh dalam novel yang lepas dari kemauan penulis? Kujawab, ada. Malah justru kekuatan tokoh-tokoh itulah yang terkadang menantang penulis untuk belajar lebih banyak, mencari referensi-referensi untuk berdialog dengan mereka. Berbeda dengan novel karya Tuhan. Justru para tokoh-tokohnyalah yang harus mencari referensi dan belajar lebih banyak lagi jika ingin berdialog dengan-Nya. Aku mengatakan, bahwa tokoh-tokoh dalam novelkulah yang mengajarkan kepadaku untuk menjadi lebih bijak. Sementara Tuhan adalah maha bijaksana yang segala kebijakannya harus diterima dan disyukuri oleh hamba-hambanya (tokoh dalam novel-Nya).
Dan terakhir kali aku mengatakan, bahwa seorang Novelis hanya berkuasa pada lakon tokoh-tokohnya, tapi ia justru tak mampu menguasai lakon hidupnya sendiri. Ya, begitulah, siapapun boleh tersenyum membaca tulisan ini. Tapi aku memang di antara orang yang sepakat dengan novelnya Kang Tamam, bahwa Novelis Juga Manusia. Dan aku menambah kata, Bukan Tuhan.

Menulis Membuat Aku Jadi Cerdas
Ya. Menurutku menulis itu membuat seseorang menjadi lebih cerdas beberapa derajat. Karena bagiku menulis adalah :
- Menuangkan ide.
Ide adalah anugerah terindah, bahwa Tuhan masih memberikan kita kejernihan otak dan kesehatan akal. Ide bisa muncul kapan saja dan di mana saja kita berada. Bisa pada saat kita bersama orang atau makhluk hidup lain yang bisa mendengar andaikata kita mengucapkannya lewat bibir kita. Tapi keadaan tak selamanya begitu, ada kalanya kita sedang sendiri, hanya berhadapan dengan makhluk mati yang bisu. Atau mungkin mulut sendiri tak bisa karena tak mampu terbuka. Untuk itulah, menulis menjadi media yang terbaik untuk menyampaikan ide.
mencurahkan isi hati, kegelisahan jiwa, ungkapan perasaan.
Curahan hati. Kata itu selalu identik dengan sahabat. Teman dekat. Karib. Tempat bercerita tentang kegelisahan jiwa dan perasaan. Kertas adalah sahabat terbaik untuk menumpahkan isi hati. Ia akan menerima seberapa banyakpun luapan perasaan dan isi hati tanpa jenuh. Tak seperti telinga yang akan jenuh dan bosan mendengar keluhan-keluhan yang manja.
- menyampaikan informasi.
Seseorang bisa tahu sesuatu karena ada media yang memberitahu. Baik secara langsung atau tidak langsung. Ayat terakhir surat Al- ‘ashr , watawashow bil khaq watawashow bis shobr, menurutku cukup menjadi dalil bahwa saling memberi informasi tentang kebaikan dan dengan cara yang sabar itu adalah kewajiban sosial antar manusia.
Tulisan adalah media informasi yang tak pupus oleh waktu dan tak lekang oleh jaman. Bayangkan saja, jika Al-Qur’an hanya tersampaikan lewat hafalan lisan para sahabat, mungkin akan mudah berganti wajah. Informasi, berita-berita gembira, aturan-aturan, dan nasihat di dalamnya kemungkinan besar akan berbeda-beda. Al-hamdulillah sahabat Utsman bin Affan sudah membukukannya sehingga menjadi muskhaf yang abadi.
- menjalin silaturrahim, ta’aruf/ saling mengenal.
Manusia diciptakan di dunia ini terdiri dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa yang dianjurkan untuk saling mengenal satu sama lain. Tulisan mampu menjembatani silaturrahim dan ta’aruf yang tak sampai. Seseorang bisa tahu kondisi suatu tempat yang tak terjangkau olehnya lewat berita dalam Koran. Atau aku misalnya, bisa tahu gambaran suasana kerajaan sihir …..dalam Harry Potter meski aku belum pernah berkunjung. Aku bisa mengenal Putri Huan Zu, Putri Bunga Mei Hwa, Yiping, Rupink, dan masih banyak lagi lewat novel-novel Chiung Yao.
- Menulis membuat kita menjadi cerdas karena menuntut kita untuk banyak membaca. Membaca realita hidup, membaca alam, membaca buku, membaca informasi dan wacana dari luar.
Itu pasti. Seorang penulis tertuntut untuk selalu membaca. Ia tak akan mampu menuliskan apa-apa tanpa membaca. Ia hanya akan menuliskan sesuatu yang omong kosong tanpa membaca. Seorang penulis fiksi yang hanya mengandalkan imajinasi tanpa membaca, ia tak akan mampu menuliskan sesuatu yang bermakna. Dengan membaca, orang akan tahu apa yang belum diketahuinya. Iqro’ wa robbukal akram, alladzii ‘allama bil qolam, ‘allamal insaana maa lam ya’lam.
- Menulis Membuat Aku Mengerti Hidup
Tidak benar bahwa kita hanya punya suatu kehidupan yang kita jalani. Jika kita bisa menulis, berapapun banyaknya jenis kehidupan yang kita inginkan bisa kita rasakan.
Aku bisa merasakan bagaimana bahagianya orang yang sedang jatuh cinta dengan menuliskannya.
Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya orang patah hati saat aku menuliskannya.
Aku bisa merasakan bagaimana derita orang yang tertindas dengan menuliskannya.
Aku bisa ikut merasakan betapa enaknya jadi putri raja yang dihormati dan dituruti segala keinginannya oleh para dayang-dayang saat aku menuliskannya.
Aku bisa ikut merasakan betapa lelahnya seorang buruh yang bekerja tanpa istirahat, pelari marathon yang tersengal-sengal nafasnya megejar tiap detik untuk mencapai garis finish, saat aku menuliskannya.
Aku menuliskan kisah hidupku sendiri, lalu aku membacanya. Aku menuliskan kisah hidup orang lain, lalu aku membacanya. Aku menuliskan kisah hidup orang yang berbeda-beda, lalu aku membacanya. Aku membaca realita hidup, dan aku terjemahkan lewat tulisan. Aku belajar tentang kehidupan dengan menuliskannya. Aku jadi mengerti, begitulah kehidupan.

Catatanku ttg menulis 2

MENULIS TENTANG PESANTREN BUKTI CINTA INDONESIA

Kemarin (17 Agustus 2008), kita merayakan Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke 63. Sudah dewasa usia ‘kemerdekaan RI’. Bahkan sudah tua. Jika dibandingkan dengan usia Rasulullah, 63 adalah usia pada saat beliau melsayakan haji Wada’ dan turun ayat terakhir ‘al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matiy wa rodhiitu lakumul islaama diina’. Kesempurnaan masa kerasulan Nabi Muhammad berakhir pada usia 63. Apakah begitu juga kemerdekaan di Indonesia. Mungkin ini bisa kita jadikan renungan tersendiri tentang apa yang harus kita lakukan sebagai bangsa Indonesia untuk mengisi Indonesia. Jika saya, apa peduli saya dengan pemerintah atau kebijakan pemerintah. Saya tak punya pengaruh apa-apa. Tapi saya merasa sebagai bangsa Indonesia yang ingin turut serta menyerukan kata “Merdeka”.
Dimana-mana orang meneriakkan kata ‘Merdeka’, meski di sepanjang Jalan Malioboro dan Kantor Pos Jogja, FMN berdemo membalikkan kata, meneriakkan tentang “apa arti kemerdekaan?” jika orang miskin masih belum bisa mengenyam pendidikan, biaya kesehatan mahal, dan orang yang melarat makin tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena bahan-bahan pokok semakin mahal.
Seperti apapun makna kemerdekaan yang sesungguhnya diinginkan orang-orang, yang penting bangsa kita ini sudah tidak lagi terjajah seperti yang terkisahkan di masa lalu.
Ibu saya pernah bercerita tentang perjuangan ‘simbah-tiriku (kakek kakak tiriku)’, dimana orang-orang selalu diliputi ketegangan ketika terdengar suara pesawat sekutu yang berputar putar di atas atap rumah, lalu suara peluru yang menghantam genting-genting hingga beberapa pecah berantakan jatuh ke tanah. Lalu tentang peti besar yang sekaligus multi fungsi sebagai meja yang masih tersimpan di rumah ‘pak lek’ itu adalah saksi sejarah. Gaman, keris, pedang, tombak, dan senjata-senjata yang lain yang dahulu digunakan untuk mengusir penjajah, memperjuangkan kemerdekaan. Dimana orang-orang belum mampu menggiling beras dengan mesin, harus menumbuk padi dalam lesung, lalu makan apa adanya. Bahkan banyak yang tak mampu makan nasi, tapi ‘tiwul’ dan ‘bonggol pisang’. Meski tanah luas bila pandai memanfaatkan akan mendapat hasil yang melimpah ruah, tapi orang-orang tak bisa sekolah, hingga semampunya mereka menggarap sawah. Mereka juga terjajah.
Ibu saya mengatakan “wong saiki iku uwis penak, biyen jamane aku sekolah, adohe koyo opo, yen ora duweni niat sing gede ora bakal iso sekolah.”
Ya, bersyukur, beberapa ‘kemerdekaan’ itu bisa kita nikmati. Sekolah sebagai perwakilan dari bentuk pendidikan telah bisa dinikmati sebagian besar bangsa kita. Adanya program Wajar 9 tahun, bantuan pendidikan bagi siswa dari keluarga Pra Sejahtera dengan program KMS telah bisa dirasakan khususnya di Kota Yogyakarta.
Adapun hal-hal lain seperti ‘naiknya harga BBM dan bahan makanan pokok’ seyogyanya tidaklah menjadi sesuatu yang dirasakan sebagai sebuah ‘keterjajahan’, tetapi justru menuntut kecerdasan kita sebagai bangsa yang telah merdeka untuk lebih mandiri dan kreatif, karena tantangan jaman adalah fase-fase yang tak mungkin dihindari.
Kita sebagai generasi yang cerdas dan kreatif (pede gitu), harus mampu mengisi Indonesia untuk mempersiapkan masa depan kelak. Kita bisa melakukan apa saja. Do what you can do! Lakukanlah apa yang bisa kaulakukan. Sebagaimana saya, saya menulis karena saya merasa bisa menulis (pede lagi...).
Karena saya adalah santri, maka untuk memberi semangat menulis bagi diri sendiri dan siapa saja yang membaca tulisan ini, saya mengutip ungkapan Al-Maghfurlah Kiai Mujab Mahalli, beliau memetik penggalan kalimat dalam kitab Ta’limul Muta’alim : “Hai orang yang punya nalar, belajarlah menulis, karena tulisan merupakan hiasan bagi orang-orang yang berakal. Jika kamu kaya, karya ilmiahmu itu menjadi hiasan. Tetapi bila kamu melarat, maka pekerjaan yang terbaik adalah menulis.
Kenapa Menulis tentang Pesantren?
Islam pesantren adalah islam pribumi. Rohmatan lil ‘alaamin. Gambaran keberagamaan yang terkisahkan lewat siroh Wali Songo. Dimana dakwah mereka begitu penuh kasih sayang (rohmatan), melalui pendekatan sosial dan budaya, halus, damai, dan tepo seliro sebagaimana dakwah wayang kulitnya Sunan Kalijogo. Tak seperti sekumpulan orang yang dengan lantang menyerukan “Allaahu Akbar” sambil berbondong-bondong memegang ‘gebuk’ untuk mencekal “Inul Daratista” dan “Dewi Persik” supaya tidak beraksi dengan ‘bokong’nya yang bahenol lagi untuk menampilkan sesuatu yang mereka (Inul dan Dewi Persik) sebut seni dan hiburan.
Pesantren adalah perwakilan islam tradisional yang tidak boleh pupus, tenggelam, dan tertutup oleh islam-islam modern.
Orang-orang pesantren adalah orang-orang yang telah rela mengorbankan separuh umurnya untuk benar-benar tafaqquh fid diin , bergaul dengan kitab-kitab klasik warisan ulama-ulama besar jaman dahulu. Harus mampu berada di garda depan untuk membawa bangsa ke masa depan.
Ketika Imam Aziz mengatakan bahwa “sastra pesantren adalah sastra perlawanan. Yaitu perlawanan terhadap kultur yang besar seperti paham-paham isme-isme atau kebudayaan arus kuat yang dijalankan oleh sistem-sistem yang besar. Gugatan atas ketidakpedulian atau ‘kelupaan’ orang atas budaya yang dibangun dari pesantren, maka saya menganggap itikad ini adalah sebuah alternatif. Ketika banyak sekali buku-buku, majalah, bahkan novel yang menuliskan tentang suasana keberagamaan yang cenderung puritan, menghadirkan islam secara normative, di antara lingkungan yang sudah tercemari lumpur hedonisme, sekulerisme dan kapitalisme, kemudian bacaan tentang pesantren hadir sebagai wacana alternatif.
Jika kita merujuk kembali pada sejarah kemerdekaan Indonesia, di mana pesantren adalah basis orang-orang pemberani yang berjuang melawan penjajah. Meski kemudian beberapa kurun waktu, hal tersebut diingkari oleh sejarah, bahkan beberapa pihak menganggap pesantren sebagai sarang para pemberontak, seperti tahun lalu yang merebak isu bahwa pesantren sarang teroris.
Siapa lagi yang akan menguak dan mengatakan kepada mereka bahwa pesantren tidaklah demikian? Maka dari itu, santri (orang-orang pesantren) lah yang harus menunjukkan bahwa di dalam lingkup pagar pesantren adalah orang-orang yang belajar untuk menjadi kholifah di bumi yang baik. Orang-orang yang belajar tentang ilmu-ilmu yang menunjukkan jalan kemaslahatan umat. Pesantren adalah tempat orang-orang mendalami ilmu fiqh, dan ushul fiqh yang mengajarkan cara berijtihad. Tempat belajar nahwu, shorof, balaghoh, manthiq, dan ilmu bahasa lainnya yang menjadi dasar seseorang untuk mampu mempelajari kitab-kitab Tafsir, sehingga tidak tekstual memaknai ayat.
Pesantren adalah sebuah wilayah yang kaya potensi, beragam khazanah budaya, dan memiliki harta karun nilai-nilai kearifan lokal yang tidak dimiliki di tempat lain.
Hal ini sependapat dengan ungkapan Bapak Ahmad Thohari bahwa “penting menguak tentang pesantren yang sering dikatakan sebagai wilayah eksklusif , penuh misteri, atau sebagai tempat yang hanya dipahami sebagai bagian masa lalu.
Jika kamu Santri yang Cinta Indonesia, menulislah tentang pesantren yang identik dengan misinya ‘dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih’.
(Pij, Kotagede 17 Agustus 2008)