Jumat, 22 Agustus 2008

Catatanku ttg menulis 2

MENULIS TENTANG PESANTREN BUKTI CINTA INDONESIA

Kemarin (17 Agustus 2008), kita merayakan Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke 63. Sudah dewasa usia ‘kemerdekaan RI’. Bahkan sudah tua. Jika dibandingkan dengan usia Rasulullah, 63 adalah usia pada saat beliau melsayakan haji Wada’ dan turun ayat terakhir ‘al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matiy wa rodhiitu lakumul islaama diina’. Kesempurnaan masa kerasulan Nabi Muhammad berakhir pada usia 63. Apakah begitu juga kemerdekaan di Indonesia. Mungkin ini bisa kita jadikan renungan tersendiri tentang apa yang harus kita lakukan sebagai bangsa Indonesia untuk mengisi Indonesia. Jika saya, apa peduli saya dengan pemerintah atau kebijakan pemerintah. Saya tak punya pengaruh apa-apa. Tapi saya merasa sebagai bangsa Indonesia yang ingin turut serta menyerukan kata “Merdeka”.
Dimana-mana orang meneriakkan kata ‘Merdeka’, meski di sepanjang Jalan Malioboro dan Kantor Pos Jogja, FMN berdemo membalikkan kata, meneriakkan tentang “apa arti kemerdekaan?” jika orang miskin masih belum bisa mengenyam pendidikan, biaya kesehatan mahal, dan orang yang melarat makin tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena bahan-bahan pokok semakin mahal.
Seperti apapun makna kemerdekaan yang sesungguhnya diinginkan orang-orang, yang penting bangsa kita ini sudah tidak lagi terjajah seperti yang terkisahkan di masa lalu.
Ibu saya pernah bercerita tentang perjuangan ‘simbah-tiriku (kakek kakak tiriku)’, dimana orang-orang selalu diliputi ketegangan ketika terdengar suara pesawat sekutu yang berputar putar di atas atap rumah, lalu suara peluru yang menghantam genting-genting hingga beberapa pecah berantakan jatuh ke tanah. Lalu tentang peti besar yang sekaligus multi fungsi sebagai meja yang masih tersimpan di rumah ‘pak lek’ itu adalah saksi sejarah. Gaman, keris, pedang, tombak, dan senjata-senjata yang lain yang dahulu digunakan untuk mengusir penjajah, memperjuangkan kemerdekaan. Dimana orang-orang belum mampu menggiling beras dengan mesin, harus menumbuk padi dalam lesung, lalu makan apa adanya. Bahkan banyak yang tak mampu makan nasi, tapi ‘tiwul’ dan ‘bonggol pisang’. Meski tanah luas bila pandai memanfaatkan akan mendapat hasil yang melimpah ruah, tapi orang-orang tak bisa sekolah, hingga semampunya mereka menggarap sawah. Mereka juga terjajah.
Ibu saya mengatakan “wong saiki iku uwis penak, biyen jamane aku sekolah, adohe koyo opo, yen ora duweni niat sing gede ora bakal iso sekolah.”
Ya, bersyukur, beberapa ‘kemerdekaan’ itu bisa kita nikmati. Sekolah sebagai perwakilan dari bentuk pendidikan telah bisa dinikmati sebagian besar bangsa kita. Adanya program Wajar 9 tahun, bantuan pendidikan bagi siswa dari keluarga Pra Sejahtera dengan program KMS telah bisa dirasakan khususnya di Kota Yogyakarta.
Adapun hal-hal lain seperti ‘naiknya harga BBM dan bahan makanan pokok’ seyogyanya tidaklah menjadi sesuatu yang dirasakan sebagai sebuah ‘keterjajahan’, tetapi justru menuntut kecerdasan kita sebagai bangsa yang telah merdeka untuk lebih mandiri dan kreatif, karena tantangan jaman adalah fase-fase yang tak mungkin dihindari.
Kita sebagai generasi yang cerdas dan kreatif (pede gitu), harus mampu mengisi Indonesia untuk mempersiapkan masa depan kelak. Kita bisa melakukan apa saja. Do what you can do! Lakukanlah apa yang bisa kaulakukan. Sebagaimana saya, saya menulis karena saya merasa bisa menulis (pede lagi...).
Karena saya adalah santri, maka untuk memberi semangat menulis bagi diri sendiri dan siapa saja yang membaca tulisan ini, saya mengutip ungkapan Al-Maghfurlah Kiai Mujab Mahalli, beliau memetik penggalan kalimat dalam kitab Ta’limul Muta’alim : “Hai orang yang punya nalar, belajarlah menulis, karena tulisan merupakan hiasan bagi orang-orang yang berakal. Jika kamu kaya, karya ilmiahmu itu menjadi hiasan. Tetapi bila kamu melarat, maka pekerjaan yang terbaik adalah menulis.
Kenapa Menulis tentang Pesantren?
Islam pesantren adalah islam pribumi. Rohmatan lil ‘alaamin. Gambaran keberagamaan yang terkisahkan lewat siroh Wali Songo. Dimana dakwah mereka begitu penuh kasih sayang (rohmatan), melalui pendekatan sosial dan budaya, halus, damai, dan tepo seliro sebagaimana dakwah wayang kulitnya Sunan Kalijogo. Tak seperti sekumpulan orang yang dengan lantang menyerukan “Allaahu Akbar” sambil berbondong-bondong memegang ‘gebuk’ untuk mencekal “Inul Daratista” dan “Dewi Persik” supaya tidak beraksi dengan ‘bokong’nya yang bahenol lagi untuk menampilkan sesuatu yang mereka (Inul dan Dewi Persik) sebut seni dan hiburan.
Pesantren adalah perwakilan islam tradisional yang tidak boleh pupus, tenggelam, dan tertutup oleh islam-islam modern.
Orang-orang pesantren adalah orang-orang yang telah rela mengorbankan separuh umurnya untuk benar-benar tafaqquh fid diin , bergaul dengan kitab-kitab klasik warisan ulama-ulama besar jaman dahulu. Harus mampu berada di garda depan untuk membawa bangsa ke masa depan.
Ketika Imam Aziz mengatakan bahwa “sastra pesantren adalah sastra perlawanan. Yaitu perlawanan terhadap kultur yang besar seperti paham-paham isme-isme atau kebudayaan arus kuat yang dijalankan oleh sistem-sistem yang besar. Gugatan atas ketidakpedulian atau ‘kelupaan’ orang atas budaya yang dibangun dari pesantren, maka saya menganggap itikad ini adalah sebuah alternatif. Ketika banyak sekali buku-buku, majalah, bahkan novel yang menuliskan tentang suasana keberagamaan yang cenderung puritan, menghadirkan islam secara normative, di antara lingkungan yang sudah tercemari lumpur hedonisme, sekulerisme dan kapitalisme, kemudian bacaan tentang pesantren hadir sebagai wacana alternatif.
Jika kita merujuk kembali pada sejarah kemerdekaan Indonesia, di mana pesantren adalah basis orang-orang pemberani yang berjuang melawan penjajah. Meski kemudian beberapa kurun waktu, hal tersebut diingkari oleh sejarah, bahkan beberapa pihak menganggap pesantren sebagai sarang para pemberontak, seperti tahun lalu yang merebak isu bahwa pesantren sarang teroris.
Siapa lagi yang akan menguak dan mengatakan kepada mereka bahwa pesantren tidaklah demikian? Maka dari itu, santri (orang-orang pesantren) lah yang harus menunjukkan bahwa di dalam lingkup pagar pesantren adalah orang-orang yang belajar untuk menjadi kholifah di bumi yang baik. Orang-orang yang belajar tentang ilmu-ilmu yang menunjukkan jalan kemaslahatan umat. Pesantren adalah tempat orang-orang mendalami ilmu fiqh, dan ushul fiqh yang mengajarkan cara berijtihad. Tempat belajar nahwu, shorof, balaghoh, manthiq, dan ilmu bahasa lainnya yang menjadi dasar seseorang untuk mampu mempelajari kitab-kitab Tafsir, sehingga tidak tekstual memaknai ayat.
Pesantren adalah sebuah wilayah yang kaya potensi, beragam khazanah budaya, dan memiliki harta karun nilai-nilai kearifan lokal yang tidak dimiliki di tempat lain.
Hal ini sependapat dengan ungkapan Bapak Ahmad Thohari bahwa “penting menguak tentang pesantren yang sering dikatakan sebagai wilayah eksklusif , penuh misteri, atau sebagai tempat yang hanya dipahami sebagai bagian masa lalu.
Jika kamu Santri yang Cinta Indonesia, menulislah tentang pesantren yang identik dengan misinya ‘dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih’.
(Pij, Kotagede 17 Agustus 2008)

Tidak ada komentar: