kamboja putih: Puisi 6

Jumat, 21 Agustus 2009

Puisi 6

PELABUHAN TAK BERTEPI
Aku tak yakin ada pelabuhan tak bertepi
Tapi memang laut lepas tak berbatas
Pantai hanyalah sisi tempat penantian gelombang gemuruh berlabuh

Seperti menunggu perahumu kaulayarkan di samudra
Aku memamah pasir-pasir asin sisa jejakmu

Entah, dipelupuk mata ini, mimpi masih terpahat,
Seperti jeda ayunan daun-daun kelapa
Juga jarak riak-riak ombak
dan nelayan yang menjaring harapan di perairan
Semoga, ini pelabuhan tak bertepi

Wisma Ijo, 13 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Puisi - puisi

LINGKARAN

Titik itu tak lagi ada
Berubah menjadi lingkaran
Kosong berbingkai
Dan aku pun tak tahu harus memberi warna apa?
Jika saja aku masih kanak-kanak
Tentulah sesukaku tak ada yang menyalah
Sebab anak-anak bukan mukallaf
Tak ada hilaf

Darakan, 5 Agustus 2008

KANVAS TAK BERKUAS

Sejenak aku tanggalkan kanvas
Kupikir rantauan memang butuh peta
Biar tak lupa hendak kemana
Kanvas tak berkuas
Dari ujung mana mulai kurias
Petaku harus jadi oleh tanganku sendiri
Tak cukup dengan keberanian
Tak pula hanya kapasrahan
Setiap garis yang terangkai harus punya arah
Setiap gambar harus punya arti
Yang tak hanya untuk kebahagiaan sendiri
Kanvas tak berkuas
Kutempelkan kedua telapak tangan dan berbekas
Petaku di tengah bingkai lima jari
Kata ibuku, garis-garis yang belum jelas bisa ditebalkan sendiri
garis yang tak bersambung, bukan berarti rute mati.
Dan kanvas tak harus berkuas.

Kotagede, 6 Agustus 2008

BUNGA KERTAS ITU TELAH MATI

Musim panas menjilatmu hingga kerontang
Tak cukup airku menyejukkan dahaga
Kau sirna begitu saja
Tanahmu taktinggalkan bekas
Kemana aku harus menatap
Sang penghiburku sudah lenyap
Tak lagi ada puisi penuh inspirasi
Harapanku esok entah kapan masih ada musim
Dimana hujan dengan ikhlas menyiram jejakmu hingga bersemi
Dan aku akan menjadi pemeliharamu sejati.

Koge, 2 Agustus 2008

Tentang KIDS EDUCATION

BERMAIN; DUNIA BELAJAR BAGI ANAK-ANAK

Anak-anak bukan orang dewasa. Baik secara fisik maupun psikologisnya. Itu harus disadari, sehingga orang tua / guru/ pembimbing bisa menerapkan metode yang pas untuk membimbing perkembangan anak-anak.
Anak-anak suka bermain. Itu adalah kecenderungan mereka yang juga harus dipahami oleh orang dewasa. Jangan sampai mereka terjajah masa kecilnya dengan membatasi kebebasan mereka untuk bermain. MKKB (Masa Kecil Kurang Bahagia) pada seorang anak akan mempengaruhi perkembangan kejiwaan mereka di usia dewasa.
Siapapun dia orangnya, pasti pernah mengalami anak-anak. Sebuah fase kehidupan yang selalu identik dengan keceriaan, kebebasan dan kreativitas. Masa-masa di mana segala sesuatu tidak ada yang serius, main-main. Bermain.
Untuk itulah, disini penulis yang pernah merasakan menjadi anak-anak ingin mengupas tentang arti bermain bagi proses belajar anak-anak untuk tumbuh menjadi manusia.
Syubbanul yaum rijaalul ghod, itu pasti. Dan itu juga mengapa penulis tidak pernah menyesal menjadi ‘ibu guru TK’. Meskipun terkadang harus menguji ‘kesabaran’ dan selalu belajar menstabilkan emosi.

Mengapa anak-anak suka bermain?
Mengapa anak-anak suka bermain? Sebenarnya pertanyaan ini bisa dijawab setiap orang ketika ia mau mengingat masa kecilnya. Kenapa ia suka bermain boneka, pasar-pasaran, perang-perangan, jamuran, cublak-cublak suweng, gobak sodor, dan lain sebagainya. Secara sederhana penulis akan menyimpulkan sendiri kenapa. Karena dalam setiap permainan tersebut memiliki unsur membuat hati senang, memiliki aturan-aturan yang unik dan masih ada hal yang tersimpan dalam sebuah permainan yang kadangkala tak disadari. Dalam permainan, ada motivasi internal, bagaimana seseorang berusaha untuk menghindar menjadi ‘yang kena’ dalam Jamuran atau gobak sodor. Selain itu permainan mengandung simbolisasi-simbolisasi yang unik yang sebenarnya merupakan pelajaran yang tak sengaja dipelajari pada saat proses bermain.

Apa peranan bermain bagi anak?
Dalam teori psikologis, anak selalu bergerak sesuai dengan nalurinya untuk merespon segala apa yang ditangkap oleh panca indra dalam kesehariannya. Saat bermain pasar-pasaran, mereka berimajinasi tentang penjual dan pembeli. Lewat imajinasi seperti itu mereka berusaha melakukan suatu konstruksi atas realitas yang mereka saksikan.
Bermain, selain merupakan cara bagaimana anak mempelajari sesuatu dan menumbuhkan daya kreatif juga memiliki fungsi sosial. Yaitu sebagai media membangun pertemanan dengan anak-anak lainnya. Melalui media bermain, anak melangsungkan interaksi sosial dengan anak lainnya. Kepekaan sosial terhadap kawan pada gilirannya menumbuhkan pula kepekaan terhadap sesama dan lingkungannya.
Dalam rengkuhan yang menyeluruh, bermain adalah sebuah dunia yang mendasari kehidupan anak-anak untuk fase kehidupan berikutnya. Keingintahuan anak (curiuosity) terhadap segala sesuatu menuntut pemenuhan yang terus menerus dari lingkungannya. Bila pemenuhan tidak terjadi, sebuah dunia yang mendasari hidup berikutnya akan kurang lengkap tergali, akan lahir tuntutan dalam bentuknya yang lain. Seorang anak akan terus bermain, belajar mengenali lingkungannya, menjalin pergaulan dengan kawan dan mengembangkan kreativitasnya dengan caranya sendiri.

Dalam hal ini penulis mencuplik beberapa teori tentang bermain bagi anak-anak:
Teori klasik
1. Kelebihan energi
Herbert Spencer menyatakan bahwa anak memiliki energi yang digunakan untuk mempertahankan hidup. Jika normal, anak akan kelebihan energi yang selanjutnya digunakan untuk bermain.
2. Rekreasi dan relaksasi
Bermain untuk menyegarkan tubuh kembali. Jika energi anak sudah digunakan untuk melakukan pekerjaan, anak-anak akan lelah dan kurang bersemangat. Setelah bermain, mereka akan memperoleh kembali energinya sehingga mereka lebih aktif dan semangat kembali.
3. Insting
Bermain adalah insting/ bawaan yang berguna untuk mempersiapkan diri melakukan peran orang dewasa. Saat mereka berpura-pura menjadi seorang ibu, ayah, guru, polisi, atau apa saja itu akan sangat penting bagi kehidupannya kelak ketika ia benar-benar menjadi ibu, ayah, guru, polisi dan lain sebagainya.
4. Rekapitulasi
Bermain merupakan peristiwa mengulang kembali apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang sekaligus mempersiapkan diri untuk hidup pada zaman sekarang. Anak-anak bermain air, tanah, batu dan lempung seolah-olah mengulang permainan manusia zaman prasejarah sekaligus belajar tentang berbagai benda.

Teori modern
1. Teori psikoanalisis
Bermain merupakan alat pelepas emosi, mengekspresikan anak dengan leluasa tanpa tekanan batin, mengembangkan rasa percaya diri, dan kemampuan sosial.
2. Teori perkembangan kognitif
Menurut Bruner dan Sutton-Smith: bermain merupakan proses berpikir secara fleksibel dan proses pemecahan masalah.
Menurut Piaget: bermain merupakan cara belajar anak. Menggunakan objek untuk berbagai keperluan membantu anak memahami tentang objek, orang dan situasi tersebut.
3. Teori belajar sosial
Bermain bersama anak lain, mengembangkan kemampuan memahami perasaan, ide, dan kebutuhan orang lain yang merupakan dasar dari kemampuan sosial.
Sedikit membandingkan antara permainan modern dan tradisional; dalam kehidupan modern pun manusia perlu kerjasama. Itulah mengapa permainan tradisional juga diperlukan. Misalanya saja dalam permainan ding dong, anak begitu gencar menembak dan membunuh lawan. Eemosi anak tidak berkembang sebagaimana mestinya. Egonya lebih dominant. Berbeda dengan permainan ‘gobak sodor’ yang di dalamnya maish terdapat unsur toleransi, ketika temannya lemah.

By: pijer (2008)

LIPUTAN BEDAH NOVEL-KU

BEDAH NOVEL HADRAH CINTA
DI P.P. NURUL UMMAH PUTRI YOGYAKARTA
(Jum’at, 14 Maret 2008)

Malam itu, lampu tiba-tiba padam. Tapi para santri yang berjumlah hampir 200 orang dan semuanya berjenis kelamin perempuan kecuali tiga orang lelaki yang duduk di depan sebelah kanan itu tenang-tenang saja. Malahan, perhatian mereka tertuju pada panggung sederhana yang dibelakangnya terpampang background layar LCD. Seorang gadis duduk di tengah-tengah panggung. Sepertinya ia sedang belajar. Tapi ia juga seperti orang yang sedang pusing. Semua mata tertuju padanya, tapi ia tak peduli. Ia tetap konsentrasi memerankan perannya sebagai “Fika” dalam kisah Hadrah Cinta. Novel karya Pijer yang diterbitkan Januari 2008 lalu.

Itulah cuplikan pra-acara Bedah Novel Hadrah Cinta yang ditulis oleh Pijer pada malam Sabtu, 14 Maret 2008 lalu yang diselenggarakan oleh Sanggar SAHARA di Gedung Lantai 2 Masjid Al-Faruq P.P. Nurul Ummah Putri Kotagede Yogyakarta. Tepatnya ba’da Isya jam 20.30 WIB. Acara yang rencananya dimulai jam 20.00 WIB itu harus molor setengah jam karena selain menyesuaikan waktu jama’ah sholat Isya, panitia harus menunggu persiapan pementasan grup Teater SAHARA yang malam itu harus mementaskan sandiwara novel Hadrah Cinta pada pra-acara. Setelah itu, barulah masuk ke acara Bedah Novel.
Background yang didesain kreatif dengan program power point oleh Ziyah, salah satu siswi MANU yang juga anggota SAHARA itu tampak bersinar dengan cahaya LCD yang memancar. Selain tulisan Bedah Novel Hadrah Cinta, terpampang juga nama-nama 3 orang pembedah. Mahbub Djamaluddin, Sachree M. Daroini, dan Zaki Zarung.
Acara bedah novel yang dimoderatori oleh Umi, salah satu anggota SAHARA itu dimulai dengan membaca surat al-fatikhah selayaknya tradisi pesantren. Kemudian dilanjutkan dengan mempersilakan Pijer untuk mempresentasikan novelnya. Novel yang berkisah tentang Fika sang pemusik Hadrah itu diuraikan secara singkat oleh Pijer.
“Lewat novel ini saya mencoba menatap Hadrah, salah satu musik khas pesantren sebagai sebuah seni yang mampu menjadi media pemersatu umat. Di mana dalam hadrah tidak mengenal perbedaan. Tetapi justru memadukan perbedaan itu sebagai suatu gabungan nada-nada yang indah. Dan Pesantren yang khas dengan keislamannya itu sebagai rohmatan lil alamiin…” tuturnya tentang inti novelnya.
Begitulah. 15 menit Pijer mempresentasikan novelnya, kemudian dilanjutkan dengan prosesi pembedahan. Mas Sachree yang diberi kesempatan pertama kali menyampaikan banyak hal tentang penilaiannya terhadap novel Hadrah Cinta. Menurutnya, ia menemukan 3 aspek dalam novel tersebut. Psikologi, pembaharuan sistem pendidikan, dan sosial. Dalam novel Hadrah Cinta menggambarkan psikologi santri dalam lingkungan pesantren yang lengkap dengan segala peraturannya. Selain itu juga tentang adanya sebuah pembaharuan-pembaharuan system pendidikan yang disitu dikisahkan lewat masa pesantren pra dan pasca Ustadz Zarkasyi. Mas Sachree juga menyebutkan judul sebuah novel “The School of Rock” sebagai contoh novel yang menggagas tentang pembaharuan system pendidikan. Sedangkan dari aspek sosial, Hadrah Cinta menggambarkan konflik sosial yang kompleks dalam pesantren dan masyarakat. Di mana kebudayaan (Hadrah) yang kemudian dijadikan media untuk menjembatani penyelesaian konflik-konflik tersebut.
Tiba gilirannya Kang Mahbub menyebutkan bahwa dalam novel Hadrah Cinta ia merasakan ada sesuatu yang hilang. Munculnya tokoh-tokoh dirasakan agak tergesa-gesa, banyak hal-hal kebetulan yang ditampilkan tanpa memperhatikan keindahan penceritaan. Setting yang digarap kurang maksimal akan membuat kesan cerita tidak indah. Lalu penggambaran karakter pada tokoh-tokoh juga kurang kuat. Sehingga Kang Mahbub menanyakan sebenarnya siapakah tokoh antagonis dalam novel itu? Ustdaz Zarkasyi? Gondes? Atau tokoh masyarakat Karang Sari? Karena kesemuanya penokohannya kurang kuat. Tapi disamping menyampaikan kekurangan novel, Kang Mahbub juga mengakui jika Pijer termasuk penulis yang berani membuat novel dengan tokoh yang sangat banyak. Selain itu, keterkaitan yang dimunculkan antar tokoh satu dengan tokoh yang lain cukup menarik dan menghanyutkan. Pijer juga berani melakukan ‘riset’ tentang Hadrah dan Cikung pada seorang temannya yang ahli Hadrah dan pengobatan alternatif Cikung.
Pada giliran terakhir, Kang Zaki menyebutkan, ketika ia membandingkan novel itu dengan novel Pijer yang sebelumnya “Coz Loving U, Gus”, ia merasakan bahasa penulisannya kurang mengalir, tidak seasyik ketika membaca novel yang keduanya tersebut. Selain itu konflik yang ditampilkan juga sangat banyak sehingga terkesan kurang tajam. Tetapi Kang Zaki juga mengakui, apabila konflik-konflik dalam novel tersebut dipertajam semua, maka novel Hadrah Cinta akan 3 kali lipat lebih tebal dari novel Hadrah Cinta yang sudah dicetak dan diterbitkan Matapena sekarang.
Waktupun beranjak malam. Setelah 3 pembedah menyampaikan kritik dan penilaiannya, dibuka session dialog dengan para santri. Meski detik dan menit jam cukup membatasi, tapi tak membuat luntur semangat beberapa santri untuk menyampaikan keingintahuannya. Beberapa orang santri menanyakan tentang kenapa judul novel Pijer harus Hadrah Cinta, apakah terinspirasi dari Ayat-ayat Cinta? Lalu apa yang diinginkan Pijer pada novelnya itu? Apakah Setting dalam novelnya itu hanya sebuah imajinasi ataukan mereferen pada realitas kenyataan?. Selain itu mereka juga menanyakan tentang proses kreatif dan tehnik-tehnik penulisan pada 3 orang pembedah.
Begitulah hingga akhirnya jarum jam harus menunjukkan pada angka 11 malam. Ketika sms-sms illegal dari pengurus untuk segera mengakhiri acara tersebut, maka session pun berakhir dengan senandung dua bait sholawat yang dilantunkan oleh Kang Zaki. “Salah sawijine sopo biso ngelakoni… Insyaallah Gusti pangeran Ngijabahi.” (pij)